Warta Minggu Ini
MENGAMPUNI DI HARI YANG FITRI

“Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun berbuat demikian.”

(Lukas 6: 32 – 33)

Tepat pagi hari di hari pertama Lebaran, saya mengirimkan banyak ucapan selamat berlebaran kepada kerabat dan teman-teman yang merayakannya. Secara formal, saya mengucapkan kalimat-kalimat yang umum disampaikan: “Selamat Merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1440 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin.” Ketika saya menuliskan ucapan tersebut, saya mencoba meresapi dan menghayatinya agar semua kata tersebut tidak tercetus sekadarnya, tapi keluar dari kata hati saya yang paling dalam untuk memohon dimaafkan dan memaafkan.

Seperti yang kita ketahui, tradisi Lebaran bagi masyarakat Indonesia adalah tradisi untuk saling memaafkan dan dimaafkan dalam relasi kita dengan para kerabat, keluarga, sahabat dan relasi lainnya. Sedikit banyak tradisi ini akhirnya bukan hanya menjadi milik kawan-kawan Muslim, tetapi ucapan yang sama disampaikan pula oleh kita yang beragama non-Islam. Bagi saya, moment ini menjadi suatu turning point yang hakiki dan sangat baik untuk membuat semuanya menjadi “NOL” terhadap hal yang buruk dalam hubungan dan komunikasi antara sahabat, keluarga, relasi, serta komunitas.

Tiba-tiba saja dalam pikiran saya terbersit apa yang Tuhan Yesus ajarkan soal mengasihi dalam Lukas 6: 32 – 33. Tuhan Yesus mengajarkan mengasihi itu harus berani melampaui batas. Artinya mengasihi mereka yang tidak mengasihi kita. Berbuat baik kepada mereka yang berbuat jahat kepada kita. Sebab mengasihi mereka yang mengasihi kita; atau berbuat baik hanya kepada mereka yang telah berbuat baik kepada kita, itu menjadi hal biasa. Tetapi mengasihi yang istimewa apabila kita mengasihi siapapun yang barangkali telah menjadi “duri dalam daging” kita.

Terus terang, apabila memaafkan adalah bagian dari mengasihi, maka pergumulan dalam perjalanan iman saya adalah mengenai keberanian, kemauan dan kemampuan untuk bisa mengampuni sekaligus memohon maaf. Karena itu ketika saya mengirimkan ucapan mohon maaf lahir batin, ini menjadi latihan rohani bagi iman dan jiwa saya untuk belajar mengasihi seperti yang Tuhan Yesus ajarkan. Saya akan terus belajar untuk mengasihi siapapun yang kadang ‘berseberangan’ pemikiran dan tindakannya dengan kita. Selain itu saya mengingat semua perbuatan saya yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah menyakiti hati orang lain. Saya mengingat itu sambil berdoa: “Tuhan, doaku pagi ini, mohon kiranya setiap saat aku diberi keberanian, kemauan dan kemampuan untuk selalu memohon maaf dan juga memaafkan atas semua salah dan khilaf. Amin.”

(Sahat M.S.)

SUKACITA DI DALAM TUHAN
“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, dan hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan...