
“Ketika mereka melihat Dia berjalan di atas air, mereka mengira bahwa Ia adalah hantu, lalu mereka berteriak-teriak, sebab mereka semua melihat Dia dan mereka pun sangat terkejut. Tetapi segera Ia berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”
(Markus 6 : 49 – 50)
Seperti biasa di sore hari, saya berjalan kaki pulang dari kantor. Tidak sampai satu jam saya sudah memasuki kompleks perumahan tempat tinggal saya. Perut mulai main keroncong karena memang sudah lewat waktunya makan malam, dan saya mampir ke tempat tukang ketoprak favorit langganan. Saat menemani dia membuat ketoprak untuk saya, terjadi percakapan tentang perjalanan saya dari kantor ke rumah. Dia terkejut ketika saya bercerita bahwa saya pergi dan pulang kantor, menempuh satu jam perjalanan, dengan jalan kaki.
Dalam percakapan dengannya, saya menangkap ada asumsi-asumsi yang muncul di benaknya. Misalnya saja, dia berasumsi saya terlalu pelit untuk naik kendaraan umum sampai rela berjalan jauh daripada mengeluarkan uang Rp. 4000,-. Saya menjelaskan sebenarnya jalan kaki lebih mahal daripada naik angkot. Saya harus merogoh kocek lebih dari Rp. 10.000,- untuk membeli minuman dan cemilan selama perjalanan. Dia mengangguk-angguk, mengiyakan pernyataan saya.
Para murid juga berasumsi ketika Tuhan Yesus berjalan di atas air, menjumpai mereka, di tengah badai. Injil Markus mencatat bahwa para murid mengira yang menjumpai mereka adalah hantu sehingga mereka berteriak-teriak, sebagai reaksi atas rasa takut mereka. Namun, Tuhan Yesus mematahkan asumsi mereka dengan berkata: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”. Kata-kata ini adalah ciri khas Tuhan Yesus, yang tak bisa dilakukan oleh hantu, yaitu memberi ketenangan.
Dalam hidup ini, kita harus mengakui bahwa seringkali kita mengisinya dengan asumsi-asumsi yang belum tentu mengandung kebenaran. Di zaman yang mengukur kualitas seseorang dari penampilan luarnya, seringkali merugikan orang tersebut dan diri kita sendiri. Asumsi, apabila diteruskan dan dibumbui dengan berbagai hal yang negatif, akhirnya menghasilkan kebohongan dan merusak relasi serta tatanan sosial dunia kita. Karena itu, saya setuju dengan kata-kata bijak: Don’t judge a book from its cover! Apa yang tampak dari luar, tidak selalu menunjukkan kebenaran yang sesungguhnya. Contoh lainnya, misalnya, kita kadangkala mengambil kesimpulan atas alasan seseorang melakukan sesuatu, dan sayangnya kesimpulan kita itu berbeda dengan kenyataan. Jadi ada baiknya kita tidak berasumsi. Kiranya Tuhan Yesus memberkati.
(Leo T. Prawira)