Warta Minggu Ini
I’LL BE HOME FOR CHRISTMAS

“… dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.”
(Lukas 2 : 7)

Pada tahun 1943 Bing Crosby merilis lagu yang berjudul I’ll be Home for Christmas. Lagu ini masuk dalam jajaran sepuluh terbaik tangga lagu Amerika Serikat pada tahun itu dan hingga kini menjadi lagu wajib pada saat Natal. Dengan setting Perang Dunia kedua lagu ini ditulis. Seorang tentara menulis surat kepada keluarganya, berjanji akan pulang ke rumah dan berkumpul pada perayaan Malam Natal. Sayangnya, lagu ini menjadi lagu sedih ketika di akhir lagu liriknya berbunyi: “Ill be home for Christmas if only in my dream.” Karena itulah, sebenarnya, lagu ini didedikasikan untuk para tentara yang sedang berjuang di medan perang. Saat orang banyak merayakan Natal bersama keluarga, mereka harus kehilangan momen tersebut dan terpisah jauh dari para kekasih hati mereka.

Kisah Natal selalu bercerita tentang ketiadaan tempat bagi kelahiran sang Bayi Kudus. Saya ingat drama-drama Natal selalu menceritakan penolakan para pemilik penginapan kepada Yusuf dan Maria, sehingga sang Bayi harus lahir di kandang domba. Lalu refleksi Natal mengandung pertanyaan, “Adakah tempat bagi sang Bayi Kudus di hati kita.” Tidak ada yang salah dengan tafsiran dan refleksi ini. Namun, ada tafsiran dan refleksi yang jauh lebih menarik buat saya, yaitu ketiadaan tempat sebenarnya tidak menunjukkan ‘kejamnya’ para pemilik penginapan.

Dengan memahami konteks Lukas yang menolak kekuasaan yang menindas dari orang-orang yang berkuasa saat itu, gambar ‘ketiadaan tempat’ merupakan perlawanannya. ‘Ketiadaan tempat’ menjadi gambar sebaliknya, gambar ini malahan merupakan tanda hospitalitas Allah dan manusia menyatu. Kandang domba merupakan tempat terhormat bagi keluarga kudus sebab ruangan lain di dalam rumah sudah terisi penuh sesak oleh tamu lainnya.
Kandang domba menjadi simbol hospitalitas Allah bagi mereka yang tertindas. Kandang domba menjadi ‘home’ bagi keluarga Kudus, para gembala dan pemilik penginapan sebab terjadi perjumpaan damai sejahtera antara Allah dan manusia.

Kandang domba dalam kisah Natal mengingatkan saya akan salah satu kutipan bagus dari Diana Butler Bass, pengarang kesukaan saya. Dia mengatakan, “Home is more than a house. It is a sacred location, a place of aspiration and dreams, of learning and habit, of relationships and heart. Home is the geography of our souls.” Dengan kata lain, dia mau mengatakan ‘home’ bisa kita rasakan di manapun, kapanpun dan pada siapapun selama kita merasakan cinta kasih dan keinginan untuk berbagi hidup dengan sesama.

Saat menulis renungan ini, terus terang, saya membayangkan pulang ke ‘home’ saya di GKI Kayu Putih dan keluarga saya untuk merayakan Natal bersama. Saya tahu, hal itu hanya mimpi. Namun, saat saya mengenang indahnya persekutuan cinta kasih yang kita lewati bersama, itu cukup menjadi ‘home’ buat saya. Apalagi Tuhan menghadirkan ‘home’ lain yaitu bersama para sahabat Allah di Amerika ini. Semoga renungan ini menjadi tanda kehadiran saya bagi keluarga besar GKI Kayu Putih. Selamat Hari Natal, Sahabat!

(Pdt. Linna Gunawan)

SERPIHAN KISAH DI MASA RAYA PASKAH 2024
“Sebab, segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia, dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.” (Roma 11:...