
Sejak buku Dee yang berjudul Filosofi Kopi diluncurkan, saya tertarik untuk membeli dan membacanya. Hanya saja ketertarikan saya tidak menjadi kenyataan karena begitu banyaknya buku yang belum saya baca. Hingga satu bulan lalu, Filosofi Kopi difilmkan dan diputar di bioskop. Penasaran saya terhadap buku dan film tersebut adalah karena saya penggemar kopi. Saya pikir isi buku dan film tersebut seputar rasa dan makna kopi yang biasa diminum oleh banyak orang. Tetapi ternyata isinya berbeda dengan yang saya pikirkan.
Dee bercerita tentang dua orang sahabat pemilik kedai kopi serta seorang komentator kopi terkenal. Mereka bertiga mempunyai kesamaan kisah, yaitu terluka oleh ayah mereka. Gambar ayah di benak mereka rusak seiring dengan rusaknya relasi anak dan ayah pada waktu mereka kecil. Di balik kisah sukses dan gagal ketiga tokoh tersebut tersimpan luka batin yang dalam. Dee menceritakan luka masa lalu berpengaruh pada masa kini bahkan masa depan. Karena itu setiap luka harus diupayakan sembuh melalui pengampunan. Setiap orang punya kisah di balik apa yang tampak pada dirinya.
Tuhan meminta Samuel untuk memilih calon raja pengganti Saul bukan dari penampilan fisiknya melainkan hati. Apa yang terlihat dari luarbisa saja menipu. Awalnya Samuel merasa kakak-kakak Daud adalah pilihan tepat sebab perawakan mereka bagus. Tetapi Tuhan menolak mereka. Pilihan Tuhan malahan jatuh pada Daud, paling muda dan ‘mungkin’ kecil badannya. Dia pun hanya seorang gembala, bukan prajurit seperti kakaknya. Tuhan melihat hati Daud yang tulus dan berani. Hal ini memang terbukti ketika Daud melawan Goliat. Walaupun tubuhnya kecil dan dia tidak terlatih berperang, dia adalah orang yang punya keberanian yang besar melawan Goliat.
Kegagalan kita untuk menerima orang lain adalah sering kita melihat penampilan luar orang tersebut. Kadang pengalaman buruk kita terhadap orang lain lantas begitu saja membuat kita memberikan cap atau bahkan tuduhan kepadanya. Jika cap itu tidak pernah terhapuskan pasti sulit bagi kita untuk mengampuninya. Ketika kita diajak untuk melihat hati, bukan penampilan sesungguhnya kita diajak belajar mendengarkan kisah orang lain. Proses mendengar ini akan membuat kita mengerti alasan dari tindakan orang tersebut. Alasan akan melahirkan pengampunan dan pemulihan.
Dua minggu terakhir dunia menujukan ‘matanya’ pada kasus hukuman mati Mary Jane Veloso yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Yogyakarta karena kasus narkotika. Ratusan ribu orang turut dalam gerakan #save mary jane. Berbagai media sosial pun mengisahkan alasan mengapa Mary Jane Veloso harus dibebaskan. Dia adalah korban perdagangan manusia yang dijebak oleh jaringan narkotika Internasional. Inilah kisahnya yang tidak sempat terdengar pada saat pengadilannya digelar di Yogyakarta beberapa tahun lalu. Setiap orang mempunyai kisah, demikian juga Mary Jane Veloso. Saya berharap Presiden duduk bersama Mary Jane Veloso, mendengar kisahnya, sebelum menentukan keputusan hukuman mati. Biarlah hati yang berbicara.
(Pdt. Linna Gunawan)