“Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi, besar kesetiaan-Mu!.” – (Ratapan 3: 22-33)
Suatu kali terjadi kebakaran di salah satu kota di Jerman, ada satu rumah terkepung oleh kobaran api yang besar. Seorang anak terperangkap di sebuah balkon rumah itu. Asap tebal dan hitam menyelimuti anak itu, sehingga ia tidak dapat melihat apa-apa lagi. Ia begitu panik dan hanya bisa berteriak, “Ayah tolong!!”. Sang ayah ada dibawah, ia juga berteriak kepada anaknya, “Grinter, jatuhkan dirimu, ayah akan menangkapmu”. Tetapi sang anak menjawabnya, “Ayah aku tak dapat melihatmu, bagaimana aku dapat menjatuhkan diriku”. Sang ayah pun menjawabnya, “Kamu tidak dapat melihat ayah, tetapi ayah dapat melihatmu. Jatuhkanlah dirimu dan ayah pasti akan menangkapmu”. Kisah di atas saya baca dari buku karya Pdt. Eka Darmaputera (Pengharapan Memberi Keberanian). Pesan moral yang ingin saya kemukakan di sini adalah bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan hidup kita, masih gelap dan bahkan mungkin hitam pekat seolah diselimuti asap. Tetapi jangan khawatir ada Tuhan yang bersabda “Kamu memang tidak dapat melihat Aku, tetapi Aku dapat melihatmu anakku” Ada kasih setia Tuhan yang siap menopang dan tak pernah gagal. Unfailing Grace.
Dalam bulan keluarga ini, saya akan mengangkat sepenggal kisah perjalanan pelayanan keluarga Alm. Pdt. Em. Johannes Loing (Bahan bacaan buku 50 tahun Pernikahan beliau dengan Ibu Anneke Loing, Mensyukuri Kasih Abadi, di Bawah Matahari). Kisah yang cukup inspiratif. Pelayanan beliau sebenarnya sudah mapan di Manado Sulawesi Utara, namun karena harus mengantar pengobatan puteranya Timmy, maka beliau harus ke Jakarta untuk mendapatkan penanganan medis yang lebih baik. Ada perkataan beliau yang cukup menyentuh pada saat menjelang berangkat ke Jakarta, “ Dengan bermodal nekat dan perlengkapan seadanya, kami ke kota pelabuhan Bitung dimana ada kapal Tampomas yang akan berangkat pada esok harinya” Beliau waktu itu tidak mempunyai dana untuk membeli tiket. Barangkali seperti kisah Grinter di atas, jalan di depan masih gelap, tetapi beliau bertumpu pada iman dan ternyata memang ada Tuhan yang menolong perjalanan beliau. Perjalanan hidup yang ternyata cukup panjang dengan pergumulan yang tidak gampang. Namun akhirnya Tuhan memberi kesempatan beliau untuk melayani di Jakarta. “Dengan penuh rasa haru, saya menerima kenyataan bahwa saya diterima untuk membantu pelayanan di GKI Jawa Barat, Jl. Kelinci 34” Ujar beliau sambil mengenang kesetiaan Tuhan yang tak terduga. Unfailing Grace.
Kehadiran beliau di Jakarta inilah yang ikut memberi warna bagi perjalanan dan pertumbuhan GKI Kayu Putih. Tanggal 8 Oktober 1980 Jemaat GKI Kayu Putih diresmikan. Proses untuk menjadi jemaat dewasa saya baca juga tidak gampang, banyak tantangan dan pergumulan yang harus dihadapi. Tetapi Tuhan selalu ada di depan dan selalu menolong. Saat ini di usia 45 tahun, sebenarnya untuk ukuran usia manusia sedang dalam puncak kekuatan dan kejayaannya, namun kita akan sulit menentukan apakah gereja dengan usia tersebut masih relatif muda atau sudah cukup dewasa, masih perlu minum susu atau sudah makanan keras (1 Korintus 3:2) tergantung kacamata pandang kita. Tetapi seperti kisah di buku Pdt. Eka Darmaputera (Grinter) dan kisah perjalanan pelayanan Alm. Pdt. Em. Johannes Loing, tantangan GKI kayu Putih ke depan tidak lebih gampang. Mungkin masih terlihat gelap, atau barangkali samar-samar, tetapi the show must go on, kita tetap harus jalan dan bahkan harus tumbuh, tidak perlu khawatir, ada Tuhan yang menuntun kita. Kasih-Nya tidak pernah habis, selalu baru setiap pagi dan tak pernah gagal. Unfailing Grace.
(Pnt. Eko Wahyu Andriastono)