
“Dan ketika Yesus telah dekat dan melihat kota itu, Ia menangisinya, kata-Nya: Wahai, betapa baiknya jika pada waktu ini juga mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu.”
(Lukas 19: 41 – 42)
Saya senang nonton program BBC Earth. Salah satu tayangannya yang berkesan yaitu tentang bagaimana induk kasuari mengajar anak-anaknya mencari makan. Anak-anaknya berjalan di belakang induknya dengan tertib. Waktu menyeberangi sungai, anak-anak kasuari itu ada yang ketakutan, karena kakinya belum setinggi kaki induknya. Beberapa di antara mereka mencoba memasukkan kakinya dengan takut-takut. Sesekali induknya berhenti dan menoleh ke belakang. Akhirnya induk dan anak-anaknya berhasil menyeberangi sungai kecil itu dengan selamat. Dalam tayangan tersebut, ada satu anak kasuari yang gamang, dia ketakutan dan akhirnya berbalik arah tidak ikut menyeberangi sungai. Di tengah jalan ia kebingungan, di depannya hanya ada tanah tandus dan berbatu-batu. Arah jalannya sudah semakin jauh dan tidak tentu arah. Induk kasuari masih menunggu di seberang sungai, mondar-mandir sambil mengeluarkan suara yang memilukan, karena anaknya kurang satu. Waktu itu saya menjadi ikut sedih. Perasaan saya semakin sedih ketika di tanah lapang yang terbentang luas, anak kasuari itu disambar burung elang dan dibawa terbang.
Kisah ini membuat saya berpikir barangkali demikian juga halnya dengan Tuhan, apabila kita tidak mengikuti teladan-Nya, seperti induk kasuari yg kehilangan anaknya. Dia sangat sedih melihat kita kehilangan arah lalu pergi meninggalkan-Nya. Saat Tuhan Yesus menangisi Yerusalem, kita bisa membayangkan bagaimana Dia sedih melihat kota tersebut dan penduduk yang tinggal didalamnya, tidak mau hidup dalam iman kepada Allah. Mereka tetap menolak nabi Allah, bahkan kehadiran Allah sendiri dalam diri Tuhan Yesus. Mereka tidak mau hidup dalam pertobatan, dan ujungnya mereka membunuh Yesus di atas kayu salib. Karena itu mengapa Tuhan Yesus mengatakan bahwa hidup mereka telah kehilangan damai sejahtera.
Begitu pula hidup kita akan kehilangan damai sejahtera saat kita menjauh dari Tuhan, dan hidup terpisah dengan-Nya. Kita akui bahwa badai hidup yang kadang membingungkan bisa membuat orang tidak memercayakan hidupnya kepada Tuhan, seperti anak kasuari yang tidak percaya kepada tuntunan induknya. Badai hidup dan cobaan, tidak selalu berupa kemiskinan dan penderitaan, tapi bisa juga berupa kekayaan dan kemewahan. Kita bisa lengah, terlalu percaya diri bahwa semua itu hasil kerja keras kita semata. Akhirnya kita merasa tidak membutuhkan Tuhan dan mulai kehilangan damai sejahtera.
Kiranya di masa Prapaskah ini, kita pun diingatkan kembali bahwa penderitaan-Nya mengarahkan kita pada damai sejahtera yang dianugerahkan-Nya dari surga. Kita diundang untuk terus memeliharanya dengan tidak meninggalkan dan melupakan kasih sayang-Nya kepada kita.
(Yani Himawan)