
“Namun Engkau, ya Allah adalah Rajaku dari zaman purbakala, yang melakukan penyelamatan di atas bumi.”
(Mazmur 74 : 12)
Saya pernah menulis di warta jemaat 22 Juni 2014 mengenai Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Iman mereka kepada Allah tidak bergantung pada hasil doa / kenyataan yang mereka hadapi. Iman mereka tetap teguh bahkan walau keselamatan diri tidak mereka terima. Iman seperti ini mudah kita setujui ketika situasi tenang, bahagia tanpa tantangan. Tetapi betapa sukarnya memiliki iman seperti ini ketika situasi sulit dan seluruh doa serta harapan ditujukan supaya keluar dari kesulitan itu. Sungguh-sungguh kita berharap Tuhan memberikan apa yang kita doakan dan harapkan.
Bangsa Israel mengalami situasi yang luar biasa beratnya. Mereka digempur sebagai bangsa di dalam kedaulatannya, di dalam kesejahteraan dan di dalam kerohanian. Sama sekali tidak ada yang tersisa. Asaf, pemazmur, menyatakan keputusasaan mereka kepada Tuhan – “Tanda-tanda tidak kami lihat, tidak ada lagi nabi, dan tidak ada di antara kami yang mengetahui berapa lama lagi” (Mazmur 74 : 9). Lama nian pertolongan Tuhan tak juga datang.
Namun dalam ayat 12 – 17, Asaf memuji Tuhan bukan karena pertolongan Tuhan sudah datang. Asaf memuji Tuhan sebagai Pencipta semesta. Meminjam istilah matematika, Asaf bergerak dari partikular (P) kepada universal (U). Saya memahaminya sebagai keyakinan Asaf bahwa kondisi bangsa Israel adalah kondisi partikular yang adalah bagian kecil dari fakta universal yang besar. Asaf bisa jadi tidak melihat jawaban doanya, tetapi di ayat 18 – 23 Asaf mengalami pemulihan harapan.
Saat ini saya mengalami berbagai situasi sulit. Saya jadi mudah sekali cemas dan sedih karenanya. Godaan besar untuk bertanya ‘mengapa’ atas kondisi saya. Tetapi saya mau belajar percaya. Ini adalah waktu saya menguji kepercayaan saya pada Tuhan, walau saya belum menerima jawaban apapun. Saya ingin menanti bagaimana akhir dari situasi yang saya hadapi. Sebab Tuhan adalah Tuhan Pencipta semesta dan Ia masih menjaga semesta di mana saya ada di dalamnya dan Ia berdaulat penuh atasnya. Saya ingin terus percaya pada-Nya – apapun juga jawaban Tuhan atas hidup saya.
Saya percaya keadaan saya ini tidak hanya dialami oleh saya. Mungkin Saudara juga mengalami hal yang sama. Beratnya pergumulan kita untuk tetap percaya kepada Allah, Pemilik semesta, adalah keinginan untuk segera mungkin menyelesaikan masalah dan melihat jalan keluar seperti yang kita inginkan. Padahal secara iman kita belajar untuk berserah pada kehendak Tuhan. Mungkin jalan yang Dia tawarkan tidak seperti yang kita inginkan, karenanya kita tetap ingin melihat Tuhan melakukan seperti yang kita bayangkan. Atau mungkin Dia ingin kita belajar diam, dan membiarkan-Nya bertindak, sedangkan kita lebih mau memilih bertindak, dan menyuruh Dia diam. Karena itu biarlah saat ini kita belajar untuk berdoa, “Kehendak-Mu yang jadi.”
(Novi Lasi)