Warta Minggu Ini
TIDAK ENAK DIBEDAKAN

“…apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.”
(Mazmur 8 : 5 – 6)

Menjadi orang yang dibedakan, memang tidak menyenangkan. Kadang hal ini membuat saya terganggu. Contohnya, ketika di sekolah, mengikuti pelajaran olah raga, saya tidak bisa melakukannya dengan sempurna dan lincah karena kondisi fisik saya yang terbatas. Saya sering kali merasa tidak enak dengan teman-teman karena perilaku dari guru dan orang-orang di sekitar saya serta siapapun juga yang terus- menerus memperlakukan saya secara istimewa. Pernah kami satu kelas kena hukuman karena melakukan kesalahan. Semua teman saya diberi sanksi fisik, yaitu jalan jongkok dan lari, kecuali saya sendirian tidak dihukum padahal saya juga melakukan kesalahan. Dalam hati saya saat itu, sebenarnya saya tidak mau dibedakan dengan yang lain tapi apa daya guru menyuruh saya tidak perlu ikut dalam hukuman. Tapi perasaan ini menjadi tidak nyaman karena saya dibedakan.

Saya mengerti mengapa saya dibedakan. Selain karena pemahaman banyak orang pada orang dengan disabilitas masih sangat terbatas. Orang dengan disabilitas dianggap perlu dikasihani, dibatasi ruang geraknya karena dianggap tidak mampu melakukan kegiatan seperti orang tanpa disabilitas. Saya berusaha untuk menerima keadaan ini, termasuk saat saya berusaha menerima diri saya sendiri yang berbeda dengan sesama. Saya bersyukur ketika membaca Mazmur 8, pemazmur menghayati betul bahwa manusia berharga di mata Tuhan. Kesempurnaan manusia bukan terletak pada kondisi fisik, mental, atau spiritualnya sehat atau tidak sehat. Tetapi kesempurnaan manusia ketika Tuhan menjadikan manusia hampir sama dengan-Nya. Manusia diberi kemuliaan dan hormat; tidak dipandang sebelah mata oleh Tuhan karena keadaan fisiknya.

Saya berharap mendapat perlakukan yang tak dibedakan karena saya adalah orang dengan disabilitas. Saya bersyukur di gereja, saya mendapat tempat dan kesempatan melayani. Saya mengerti dan menerima kondisi saya sehingga saya juga memahami pelayanan-pelayanan apa yang bisa saya lakukan dengan kondisi fisik ini. Pernah ada seorang kawan yang bertanya, “Apakah kamu minder dengan keadaanmu?” Saya menjawab, “Kenapa harus malu dan minder? Saya bisa membantu kalian apapun. Buat pelayanan, saya siap untuk mengerjakannya.” Terus terang, saya telah melalui perasaan minder dan malu dengan kondisi tubuh saya. Ketika saya ingat bahwa saya diciptakan Tuhan dengan “amat baik”, saya tahu bahwa saya sempurna. Saya percaya suatu saat orang lain pun tidak akan memandang orang-orang dengan disabilitas seperti saya adalah orang yang perlu dikasihani dan diperlakukan berbeda.

(Rivaldi Tanuwijaya)

GEREJA DAN PEMILU 2024
“Jika orang benar bertambah banyak, bersukacitalah rakyat, tetapi jika orang fasik memerintah, berkeluhkesahlah rakyat” Amsal 29: 2 (TB-2) Tanggal...