Warta Minggu Ini
TAK DIBIARKAN TERGELETAK

“TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya.” (Mazmur 37 : 23 – 24)

Rasa sakit yang terus-menerus mendera tulang belakangnya akibat syaraf kejepit membuatnya sangat menderita. Akibat dari menahan rasa sakit itu akhirnya tubuhnya jadi membungkuk. Kami, keluarganya, mengupayakan jalan terbaik untuk kesembuhannya. Upaya terakhir kami adalah operasi. Kami gumuli terus upaya terakhir ini dalam doa agar Tuhan membuka jalan. Akhirnya dia mengabarkan bahwa dia siap untuk dioperasi. Operasi tulang punggung dan pasang pen akhirnya terlaksana. Kenyataannya pasca operasi tidak seperti yang diharapkan, punggungnya tetap membungkuk dan sulit menggerakkan anggota tubuhnya. Bertambah tahun, geraknya semakin lamban, dia harus bergantung kepada orang lain. Saya merawatnya sendiri. Setiap pagi saya menggerakkan tangan dan kakinya untuk melemaskan otot persendiannya.

Beberapa tahun terakhir di dalam doanya dia sudah minta agar segera dipanggil Tuhan dan kalau hamba Tuhan datang melawat dia mengatakan sudah siap dipanggil Tuhan. Tanggal 15 April 2015 adalah ulang tahunnya yang ke-74. Saya, anak-anak, para mantu dan cucu-cucu masih bisa merayakannya dan dia sangat menikmati pesta ulang tahunnya. Di bulan itu juga dia menerima sakramen Perjamuan Kudus terakhir di hari Paska, dia begitu bersemangat menerimanya. Saya masih membacakan renungan dengan judul “Meninggal dengan Syukur,” yang saya yakini arah kematiannya sudah semakin dekat. Tanggal 30 April 2015 Anak-anak sudah berkumpul dan saat yang didambakannya sudah dekat, saya membisikkan di telinganya, “Jangan takut…. ikut Tuhan Yesus Gembala yang baik.” Kami menyanyikan “Makin Dekat Tuhan kepada-Mu” (KJ. 401). Saat kami menyanyikan bait keempat, dia menghembuskan nafas terakhir dalam damai.

Sewaktu saya mempersiapkan tulisan ini, saya menemukan catatan kecil dari almarhum:

25 Agustus 2005 “Keluargaku yang terkasih, janganlah berduka atas kepergianku. Batu nisanku akan mengingatkan pada sebuah kehidupan baru. Aku telah bebas dari duka nestapa duniawi, lembah duka sudah berlalu. Aku mendahuluimu menyusuri jalan emas menuju rumah nan permai. Tugasku di dunia sudah kuselesaikan, aku beristirahat menunggu upah. Aku mendahuluimu untuk menemui mereka yang mengasihiku. Mereka menantikan bersama Anak Allah. Bila kepergianku meninggalkan rasa kehilangan, isilah itu dengan kenangan manis yang pernah tercipta di antara kita. Keluarga yang terkasih, jangan bersusah hati karena kepergianku. Aku pergi untuk bernyanyi, bersukaria dalam jemaat yang bersukacita. Keindahan sorga lebih berharga dari kemuliaan duniawi. Keluarga yang terkasih, kehidupan di dunia berlalu begitu cepat, siapkan dirimu untuk bertemu denganku di pangkuan Bapa sorgawi.”

Kisah yang dituliskan ini adalah kisah suami saya terkasih. Suratnya mengisyaratkan bahwa dia tahu dengan benar kemana dia pergi setelah meninggal. Dia yakin dalam iman bahwa anak-anak Tuhan tidak akan dibiarkan jatuh tergeletak. Sekalipun dia menderita selama hidupnya karena sakit penyakitnya, tetapi dia percaya akhir hidupnya ada dalam tangan Tuhan. Saya percaya, dia yakin dalam imannya seperti pemazmur bahwa Tuhan tidak akan membiarkan anak-anak-Nya jatuh tergeletak. Akhirnya yang penting bukanlah bagaimana awal hidup kita tetapi bagaimana mengakhiri hidup itu dengan penuh syukur.

(Tiar Simamora)

GOD RECREATES THE WORLD
Katanya: “Janganlah kiranya Tuhan murka, kalau aku berkata lagi sekali ini saja. Sekiranya sepuluh didapati di sana?” Firman-Nya: “Aku...