Manusia, baik secara sadar atau tidak sadar, kurang suka menghadapi perubahan. Manusia lebih bergairah untuk bertahan dalam pemikiran yang telah diterima dan didukung oleh masyarakat daripada berubah untuk mengikuti suatu kebenaran yang baru di munculkan. Padahal perubahan itu kapanpun hadir dalam hidup kita. Kita merasa lebih nyaman dalam keadaan status quo. Orang takut menghadapi perubahan karena takut menuai kegagalan. Mereka seringkali berusaha untuk dalam zona nyaman dan nikmat, mereka terus mencoba menghindari perubahan. Padahal perubahan tidak selalu menimbulkan ketidak-nyamanan. Tapi, yang pasti, dalam perubahan senantiasa ada hal-hal baik yang dapat kita rasa dan alami. Sedangkan status quo seringkali membiarkan kita dalam kondisi statis, bahkan dapat menyebabkan kemunduran, karena kita akan ditinggal dan tertinggal dari mereka yang berani menerima dan menghadapi perubahan secara positif.
Demikian juga dengan kehidupan bergereja, zona nyaman adalah pilihan yang paling banyak memperoleh pendukung. “Buat apa susah-susah dan repot-repot untuk merespons perubahan yang terjadi, yang belum tentu memberikan manfaat, ”demikian pemikiran bagi mereka yang telah nyaman dalam lingkup status quo. Sungguh sangat disayangkan apabila Gereja terbelenggung dengan “penyakit” nyaman karena status quo.
Kristus sendiri telah mengajarkan dengan contoh nyata kepada kita bagaimana Dia terus menerus melakukan pembaruan. Tindakan dan ucapan Yesus yang dengan keras mengecam para ahli Taurat, orang-orang Farisi dan orang Saduki dilakukannya dalam rangka melakukan perubahan kondisi masyarakat pada saat itu. Yesus melawan struktur kekuasaan yang telah mapan. Dia mengajarkan kesetaraan di tengah prinsip hirarki yang terjadi dalam lingkungan keagamaan pada masa itu. Tidak ada lagi perbedaan orang Yahudi atau orang Yunani, hamba atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, tetapi semua adalah satu dan sama di dalam Kristus. Persamaan antara pria dan wanita, adalah sesuatu yang sangat mengejutkan dalam masyarakat patriakhal pada zaman Yesus.
Perubahan yang diinginkan oleh Yesus adalah : Keesaan Allah, tidak ada lagi penyembahan berhala atau pengkultusan individu, semua setara di hadapan Allah. Begitu pula umat kristiani, baik laki-laki maupun perempuan memiliki tanggung jawab bersama untuk menegakkan keadilan berdasarkan martabat kemanusiaan. Pengikut-Nya pun di panggil untuk ewujudkan kasih dalam interaksi dengan sesama manusia. Yesus sudah mengawali perubahan-perubahan tersebut. Kita pun diundang untuk mengikuti teladan-Nya, menjadi agen perubahan juga, jangan terbelenggu dengan kenyamanan status quo.
Perubahan yang dilakukan Yesus membawa perubahan pula bagi semua orang, khususnya mereka yang percaya kepada-Nya. Paulus menyebutkan dengan tegas di dalam Kristus, semuanya ciptaan baru. Tentu saja Paulus menegaskan pengaruh dari pembaruan yang Yesus lakukan mewujudkan pada kehidupan setiap orang percaya dan komunitasnya.Orang tidak boleh lagi dibelenggu oleh masalalu bahkan zona nyaman sebaliknya melakukan sesuatu yang progresif dalam rangka mengasihi Tuhan dan sesama.
Inilah tugas dan tanggung jawab umat Kristiani dalam mewujudkan amanat Yesus untuk memegang erat dan mengimplementasikan iman, pengharapan dan kasih dalam keseharian kita , agar damai sejahtera terwujud dalam kehidupan umat manusia.
(BasukiArlijanto)