“Karena itu taatilah orang-orang yang demikian dan setiap orang yang turut bekerja dan berjerih payah.”
(1 Korintus 16 : 16)
Salah satu sindrom berbahaya dalam relasi kita dengan sesama adalah “asal bukan dia.” Sindrom ini muncul ketika kita dihinggapi rasa takut plus rasa benci terhadap seseorang. Akibatnya, kita akan terus menghambat karyanya termasuk kita sulit untuk mengakui kelebihannya. Saya pernah mendengar tentang seseorang karyawan yang dihambat pekerjaannya karena atasannya merasa terancam kedudukannya dengan kehadirannya. Sehebat apapun anak buahnya, tetap dinilai kurang baik. Semua ide dari karyawan ini, tidak pernah diterima oleh sang atasan. Selalu ada alasan untuk menolak ide-ide si anak buah. Suatu hari, sang boss tanpa sengaja berkata kepada anak buahnya yang lain, “asal bukan dia yang mengerjakan proyek ini.” Padahal hanya si karyawan yang tidak disukai sang boss yang memiliki keahlian mengerjakan proyek tersebut.
Paulus berbicara kepada Jemaat Korintus tentang orang-orang yang melayani dan bekerja keras di dalam jemaat. Paulus menyebut nama Stefanus dan keluarganya yang mengabdikan diri pada pelayanan para rasul (1 Korintus 16 : 15). Dia menyebut kembali nama Stefanus dan dua kawannya, Fortunatus dan Akhaikus, yang berada bersama jemaat melayani jemaat. Paulus meminta jemaat untuk menghargai kerja keras mereka dengan cara menaati apa yang mereka ajarkan kepada jemaat. Tentu saja, menaati di sini artinya jemaat turut mendukung apa yang mereka lakukan dengan gembira.
Kadang kita kurang menyadari bahwa sindrom “asal bukan dia” ada di sekitar kita, atau barangkali kita pun memilikinya. Di gereja, ketika kita tidak bisa bekerja sama dengan seseorang, kita mencoba berbagai cara untuk menolak karyanya. Kita tidak memberi kesempatan baginya untuk melayani lebih baik lagi. Bayangkan apa jadinya? Persekutuan kita bukan hanya renggang, tapi juga berantakan, sebab kita tidak hidup lagi dalam kasih. Kita tidak bisa melihat kebaikan orang tersebut apalagi mengakui kemampuannya. Aura persaingan dan permusuhan muncul ke permukaan karena kita takut kalau orang-orang menyukai karyanya. Kita menjadi terobsesi untuk menghancurkannya, menyebarkan gosip dan tuduhan tak mendasar kepadanya. Akhirnya, persekutuan menjadi terpecah dua antara kelompok yang mendukung atau menolak dia. Berbahaya bukan sindrom ini?
Bayangkan pula apabila sindrom ini pun masuk dalam dunia politik atau pemerintahan. Sindrom ini bukan hanya menghancurkan tatanan pemerintahan, tetapi yang paling rugi atau terkena dampak negatifnya adalah seluruh rakyat. Para politikus misalnya akan memakai berbagai cara, mulai dari menebarkan berita negatif, membentuk opini masyarakat bahwa lawan politiknya melakukan kesalahan, sampai membawa ke pengadilan. Suara-suara “penistaan agama”, “jangan pilih pemimpin yang kafir,” dan sebagainya menjadi contoh dari sindrom ini telah merasuk dunia perpolitikan kita.
Hari ini kita diajak untuk mengenali bahaya sindrom “asal bukan dia.” Apabila kita sedang terjangkit sindrom ini, segeralah minta Tuhan menolong memurnikan hati kita dari segala kebencian dan takut akan keberhasilan orang lain. Sebaliknya, marilah kita belajar mengakui dan menghormati karya dan kerja keras orang lain. Jauhkanlah kiranya sindrom “asal bukan dia” dari diri kita.
(Pdt. Linna Gunawan)