“Tetapi kata Yesus: “Jangan kamu cegah dia! Sebab tidak seorang pun yang telah mengadakan mujizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku. Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.””
(Markus 9 : 39 – 40)
Dalam catatan sejarah gereja pernah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang non-Kristen. Pasalnya, beberapa tokoh gereja yang berpengaruh saat itu salah memahami dogma gereja yang berbunyi: Extra Ecclesias Nulla Salus atau dalam Bahasa Indonesia berbunyi: “Di luar gereja tidak ada keselamatan.” Kebetulan, waktu itu, gereja sangat berkuasa bahkan menguasai negara. Sikap fanatisme orang-orang tertentu terhadap gereja menyebabkan mereka membunuh siapa pun yang tidak percaya pada gereja.
Catatan sejarah gereja tersebut melahirkan sebuah tanda tanya besar dalam benak kita, bagaimana sebenarnya kehadiran gereja di dunia ini? Yesus menegur keras para murid-Nya saat mereka mengadukan ada seorang yang bukan murid-Nya memakai nama Yesus untuk mengusir setan. Yesus melarang mereka untuk melakukan sesuatu terhadap orang tersebut. Bagi Yesus, kuncinya bukan apakah dia termasuk kelompok murid-Nya, tetapi yang paling penting adalah apakah dia melakukan kebaikan seperti yang Yesus perintahkan.
Sikap Yesus yang tercatat dalam Injil Markus ini menjadi penting bagi kita sebagai pengikut-Nya. Sikap ini menandai bahwa kekristenan, dalam hal ini Gereja, semestinya menjadi komunitas yang terbuka bagi siapa saja, alias inklusif. Sayangnya, pada kenyataannya Gereja tidak selalu bisa bersikap inklusif, malahan bersikap eksklusif. Gereja memusuhi mereka yang dianggap berdosa dan yang tidak memberi sumbangsih apapun kepada gereja. Gereja bersikap tidak adil kepada mereka yang mempunyai prinsip atau kepercayaan yang berbeda. Gereja turut meminggirkan mereka yang dianggap sampah masyarakat.
Yesus, ketika Dia berkata bahwa Dia adalah Sahabat bagi semua orang yang mengasihi sesamanya. Dia mengatakan orang-orang yang seperti inilah yang sejalan dengan persahabatan yang ditawarkan-Nya kepada kita. Sahabat terbuka dan menerima sahabatnya apa adanya, sekalipun sang sahabat bukanlah orang yang selalu cocok atau sepaham. Persahabatan yang terbuka dan menerima apa adanya, inilah salah satu nilai persahabatan yang Kristus tawarkan.
Gereja kita, pada ulang tahun ke-38, telah mencanangkan diri menjadi gereja yang bersahabat. Salah satu semangat persahabatan yang ingin diwujudkan adalah melalui program pengadaan the House of Friendship. Dalam ‘rumah’ ini, kita akan membangun semangat keterbukaan dan penerimaan sebagai nilai persahabatan gereja. Karena itu, fungsi the House of Friendship nantinya selain menjadi tempat berbagai kegiatan intergenerasi, juga menjadi komunitas bagi warga masyarakat yang ada di sekitar gereja kita. ‘Rumah’ ini pun diharapkan menjadi rumah bagi siapapun yang mencintai Tuhan, mencintai Indonesia yang beragam, dan mencintai sesama yang hidup dalam persahabatan Allah. Semua Sahabat, Sahabat Semua.
(Panitia Pengadaan Dana – program #JanjiSehati)