Warta Minggu Ini
SEKADAR HIDUP, SEKADAR MENDENGAR, SEKADAR PERCAYA?

“Dan akhirnya yang ditaburkan di tanah yang baik, ialah orang yang mendengar dan menyambut firman itu, lalu berbuah…”
(Markus 4 : 20a)

Tidak ada satu pun di antara kita, yang tidak ingin memiliki kehidupan yang ideal, bukan? Misalnya saja, kehidupan ideal yang didambakan ialah selalu sehat, punya keluarga yang harmonis, banyak uang dan materi, banyak teman yang mencintai, banyak pergi keliling dunia, dan lain sebagainya. Membayangkan sesuatu yang ideal, tentu ada manfaatnya. Selain memberi peluang untuk menetapkan tujuan, juga memberikan gambaran saat kita mengukur jarak antara realita dan harapan ideal kita. Namun, apabila kita salah menetapkan hal ideal yang menjadi tujuan hidup, maka bisa jadi hidup ini hanyalah menjadi sekadarnya.

Buya Hamka, seorang sastrawan dan tokoh nasional di Indonesia, mengatakan, “Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau kerja sekadar kerja, kera juga bekerja.” Coba kita renungkan. Benarkah demikian? Paling tidak, kalimat ini menyentil kita bahwa seharusnya hidup ini bukanlah hanya untuk sekadarnya saja.
Dalam hidup, terdapat proses dan hasil yang perlu diperhatikan secara serius. Tak hanya memperhatikan proses, namun mengabaikan hasil. Bukan juga mengutamakan mengejar hasil, namun sesuka hati memilih langkah dalam berproses. Kita yang dengan mulut mengaku sebagai pengikut Kristus, perlu memiliki keseriusan yang tidak hanya sekadar, saat berproses bersama Firman Allah dalam menjalani hidup ini. Bukan sekadar mendengar, apalagi sekadar percaya, karena buahnya pun akan sekadarnya.

Tatkala kita berproses bersama Firman Tuhan dengan serius dan penuh kesungguhan, Allah menyatakan janji-Nya. Dari tandus menjadi hijau menyenangkan dan menenangkan. Itulah kuasa Sang Firman. Firman itu tertabur di jalan-jalan utama yang besar, yang merupakan simbol pusaran gemerlap dunia. Di sana tumbuh semak duri, simbol kekuatiran dan rasa haus akan kekayaan serta tipu muslihat. Di sana juga tersedia batu, simbol kebahagiaan semu yang bisa membuat orang berbalik menolak Allah. Di jalan itu jugalah hadir orang-orang yang abai terhadap Sang Firman. Sedangkan Tuhan menyediakan jalan. Ia mengiring di tepian jalan, dengan benih yang ditabur. Allah mengiring, namun sudahkah kita mendengarkan DIA, yang sedang menabur benih?

Sejatinya, banyak orang Kristen memiliki media yang baik; tanah yang subur. Akan tetapi, pada saat benih ditaburkan, ia malah memakai “payung” sehingga benih itu tidak sampai kepada dirinya. Payung itu melekat dengan diri; payung keegoisan diri, payung kemalasan, payung pengunggulan diri, merasa diri tidak perlu mengolah Firman dalam hidup ini. Mengolah Firman dengan cara mendengar, meresapi, memikirkan, mengingat, dan hidup di dalam Roh Kristus. Dengannya, kita dapat hidup menghadirkan damai sejahtera bagi semua, bukan menyulut kebencian, kemunafikan, apalagi adu domba.

Keinginan yang kuat untuk mengolah Firman, lahir dari refleksi iman kita. Mari dengar dan percayalah Sang Firman dengan sepenuh, hingga tiba waktunya kita berbuah, menghadirkan buah yang lebat. Hidup pun tak sekadar merasa baik, tapi menjadi baik. Not only feel good, but being good.

(Fitri Yani, S.Si. (Teol))

KOMITMEN MENYEDIAKAN WAKTU BAGI ANAK
“Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila...