
“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”
(Filipi 1 : 21)
Salah satu pemusik yang saya kagumi dan sukai adalah Rich Mullins. Ia diakui sebagai pemusik jenius. Melodi dan prosa lagunya menghasilkan lagu yang menggugah hati. Karyanya tidak bisa dinikmati sambil lalu melainkan harus didengarkan seksama. Karyanya bisa membuat saya tersenyum, yaitu lagu “Man of no Reputation” dan “You did not have a Home.” Kadang membuat saya haru, misalnya lagu “If I stand, Here in America”. Kadang membuat saya terpekur dalam doa melalui lagu “Jesus, Nothing is Beyond You”, “The Love of God”, dan “Calling Out Your Name”. Rich hidup sederhana di perkampungan Indian Navajo dan aktif mendukung Compassion International Foundation. Kita tak akan menduga ia seorang artis jika melihat tampilan fisiknya. Prinsipnya adalah ia seorang kembara yang tak memerlukan barang duniawi.
Sepuluh tahun sebelum saya mendengar lagunya pertama kali, 20 September 1997, Rich Mullins mengalami kecelakaan mobil. Ia terlempar dari mobil jeepnya dan tergilas truk 18 ban. Saya sangat sedih ketika pertama kali mengetahui cara kematian Rich, apalagi ia pernah menulis ia ingin ‘pulang’ seperti Elia dengan kereta berapi. Banyak orang bertanya mengapa Rich yang dikenal sangat religius meninggal dengan cara tragis seperti itu. Pertanyaan orang-orang itu resonansi pertanyaan orang pada zaman Yesus ketika ada 18 orang mati ditimpa menara dekat Siloam (Lukas 13 : 2 – 5). Kita barangkali juga memiliki pemahaman bahwa tragedi, sakit, kemalangan adalah karena orang dihukum Tuhan. Semakin mengerikan akhir hidup seseorang, semakin orang lain menyimpulkan kesalahan orang tersebut. Meninggal dengan tenang di usia lanjut, tanpa didahului sakit atau derita dianggap sebagai berkat dan menjadi pengharapan kebanyakan orang.
Paulus ketika menulis ayat di atas bukan berada dalam kondisi depresi sehingga menganggap kematian jauh lebih baik. Ia justru mengatakan kondisi apa yang sedang ia alami tidak sepenting bagaimana ia menjalani kondisi tersebut. Hal yang terutama justru apakah ia menjalani semua kondisi untuk memuliakan Tuhan. Ketika ia hidup, senang atau susah, ia menjalaninya bersama Tuhan. Ada warisan (legacy) yang diwariskan pada orang lain. Ketika ia mati, ia menganggapnya sebagai keuntungan sebab ia diam bersama-sama Tuhan. Cara kematian tidak penting. Legacy jauh lebih penting.
Tulisan Paulus ini membuat saya memandang kematian lewat hidup Rich Mullins dengan cara yang berbeda. Saya tak perlu berdoa untuk meninggal dalam tidur. Hal yang paling penting adalah bagaimana saya menjalani hidup saya sehingga saya tak perlu khawatir bagaimana saya mencapai akhir hidup saya. Kematian bukan titik akhir hidup melainkan sebuah koma di mana kehdupan sesudahnya adalah kekekalan dan durasinya jauh lebih panjang dari hidup di dunia. Secara otomatis persiapan untuk hidup berdurasi kekekalan harus jauh lebih baik dari hidup dengan durasi pendek di dunia.
Seberapapun saya sedih dan merindukan Rich Mullins, saya yakin ia bahagia bersama Tuhan yang dikasihi-nya dengan sungguh. Rich Mullins menjalani hidupnya langkah demi langkah bersama Tuhan dan ia mengikutinya dalam seluruh hari hidupnya. Hal ini dinyatakannya lewat lagu “Step by Step”, liriknya berbunyi demikian: “And step by step You lead me and I will follow You all of my days”. Ayat ini menjadi penutup kisah Rich Mullins: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2 Timotius 4 : 7). Sampai bertemu, Rich!
(Novi Lasi)