
“Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah; Dialah yang telah menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh istananya dan sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir.” (Kejadian 45: 8)
Dua tahun lalu teman-teman satu angkatan di psikologi bertemu untuk reuni 25 tahun. Saya memilih tidak menghadiri acara tersebut sebab reuni biasanya menceritakan masa lalu. Kawan-kawan yang hadir biasanya dilihat sebagai pribadi di masa lalu. Begitu sempit “ruang” untuk melihat pribadi kawan-kawan sebagai pribadi yang sudah berkembang dari tahun terakhir bertemu. Akibatnya percakapan didominasi oleh kenangan masa lalu. Hanya sedikit porsi untuk mencari tahu kondisi teman-teman saat ini. Saya tidak keberatan dengan reuni, tetapi jika percakapan hanya membahas seputar masa lalu, maka lebih baik saya tidak hadir. Apalagi ketika facebook muncul, reuni terjadi dimana-mana: reuni semua tingkatan sekolah sampai reuni ex-kompleks perumahan. Kawan-kawan tidak tertarik untuk melihat bahwa si A tidak lagi si badut semasa sekolah sebab dia sekarang dokter yang terlibat dalam berbagai bakti sosial. Pergumulannya sebagai sukarelawan medis harusnya jauh lebih menarik ketimbang semua lelucon yang ia lontarkan ketika SMA dulu.
Saya menyadari bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk melihat kondisi masa lalu sebagai pola pegangan masa kini atau masa depan, terutama berkait dengan manusia lain. Ini yang tampak ketika terjadi reuni antara Yusuf dan saudara-saudaranya. Selama beberapa pertemuan sebelumnya Yusuf berupaya melihat apakah saudara-saudaranya masih memiliki sifat dan kebiasaan seperti ketika ia hidup bersama mereka : bully, pengiri, pembohong dan berani berbuat jahat. Tes yang Yusuf lakukan tidak berhenti pada kesimpulan yang ia miliki di masa lampau. Ia memandang saudara-saudaranya sebagai pribadi yang berubah dan punya konsistensi dalam perubahan tersebut. Tidak peduli ia mengancam mereka atau bahkan memenjarakan mereka, saudara-saudaranya kukuh melindungi Benyamin dan ayah mereka, Yakub, dengan berani berkorban. Sayangnya saudara-saudara Yusuf justru tidak mampu melihat Yusuf dengan pandangan yang sama. Mereka memandang Yusuf sama seperti masa lalu dan karenanya mereka takut kepadanya. Kesalahan yang mereka buat kepada Yusuf sangat besar, bahkan telah mendukakan hati Yakub bertahun-tahun. Itulah sebabnya Yusuf-lah yang bisa langsung mengenali mereka dan bukan sebaliknya, sebab rasa bersalah mereka menutupi mata hati mereka.
Ada istilah yang sangat menarik yang pernah saya dengar, “I am not the sum of all my past mistakes” (Saya bukanlah kumpulan dari kesalahan masa lampau). Istilah ini mengajarkan bahwa manusia mampu berubah. Karena itu kita harus selalu terbuka untuk menambah kekayaan pengenalan kita akan orang lain. Yusuf menancapkan jejak lain di Mesir: ia menjadi batang yang dipotong dari pohon keluarganya dan menjadi pohon yang baru. Faset kehidupan Yusuf menjadi hal yang sangat menarik untuk diketahui.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita terpaku kepada masa lalu ketika memandang teman-teman saat reuni? Ataukah kita mencoba mengenali kembali mereka dalam faset-faset hidup mereka yang pasti kaya dan membuat mereka menjadi pribadi yang kita hadapi saat ini?
Reuni akan menjadi lebih menarik dan kita menjadi kaya oleh sharing kehidupan teman-teman kita daripada hanya sekedar tertawa karena pengalaman masa lampau. Mulailah memandang teman-teman lama kita bukan sebagai kumpulan cerita masa lalu. Kita semua berubah dan kita bisa saling memperkaya. Selamat ber-reuni!
(Novi Lasi)