Warta Minggu Ini
PERUNDUNGAN

“Sengsaraku Engkaulah yang menghitung-hitung, air mataku Kautaruh ke dalam kirbat-Mu. Bukankah semuanya telah Kaudaftarkan?”

(Mazmur 56 : 9)

Seorang menantu mengeluh dalam hatinya menerima perlakuan dari mertuanya. Hatinya berontak dan ia sangat ingin berteriak membela diri. Rasanya apapun yang ia perbuat, di mata sang mertua perbuatannya tidak pantas atau tidak benar. Bertahun-tahun ia bersabar. “Tuhan, apa lagi yang harus saya lakukan?” keluhnya.

Kisah di atas adalah contoh perundungan (bully) yang klasik dalam keluarga, selain perundungan klasik lainnya di sekolah dan kantor. Pihak yang dirundung tidak melawan balik dengan berbagai alasan, baik karena tidak berdaya atau cemas akan masa depannya; atau pada kasus di atas, posisi orangtua yang harus tetap dihormati.

Rasa sakit dan kemarahan yang dialami oleh orang yang dirundung biasanya menjadi sebuah dorongan untuk merundung orang lain lagi. Misalnya pada kasus di atas, sang menantu ketika menjadi mertua merundung menantunya kelak. Atau di spektrum lain, rasa sakit itu diarahkan ke dalam diri sehingga menjadi perilaku destruktif pada dirinya sendiri dan sesama.

Di dalam iman Kristen, kita diajar untuk forgive and forget, artinya mengampuni perundung dan melepaskan diri dari kemarahan dan rasa sakit. Tetapi bagi banyak orang hal ini seperti mendaki “Puncak Everest”, walau masih mungkin dilakukan tetapi terlalu berat dan sukar.

Sementara perjalanan menuju pengampunan dan pelepasan terus diupayakan, ada satu hal yang dapat menenangkan hati. Pada saat perundungan terjadi, Tuhan ada bersama dengan yang dirundung. Bahwa Ia mencatat pukulan demi pukulan, hinaan demi hinaan, jebakan demi jebakan. Ia menampung setiap air mata dalam kirbat-Nya. Tidak satupun yang terlewat dari perhatian-Nya. Saya sendiri yakin bahwa Tuhan menjagai anak-anak-Nya dalam kasih-Nya yang hebat (Mzm. 117 : 2). Karena itulah saya meyakini bahwa perlakuan buruk yang dilakukan orang terhadap kita juga tak pernah lepas dari pengamatan Tuhan. Dengan demikian kita tak perlu membebani diri memikirkan apa balasan atas perundung, sebab itu semua ada dalam kewenangan Tuhan (Rm. 12 : 19).

Siklus perundungan harus diputus, bukan dengan aksi balas dendam. Perundungan putus ketika yang dirundung berbalik dari ketakutan, rasa sakit atau kemarahan kepada kepercayaan diri bahwa ia berharga, dan ia berdiri sama tinggi dengan perundung. Ia perlu menyadari ada begitu banyak support system di sekitarnya yang mau menolong. Carilah pertolongan untuk mengembalikan keberhargaan diri dan menyembuhkan luka hati.

Saya ingat satu ayat yang mengajarkan kita untuk memutus rantai perundungan: “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” (Rm. 12 : 21). Kiranya Tuhan memberkati kita.

(Novi Lasi)

40 TAHUN: JOURNEY OF HOPE
“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan,...