
Suatu kali ada seorang pemuda yang bersaksi sebagai berikut: “Saya bersyukur memiliki papa dan mama yang saling mengasihi. Mereka memang tidak imun dari pertengkaran. Mereka pernah bertengkar, entah karena sebab yang sepele atau hal yang memang prinsip. Akan tetapi, seusai pertengkaran itu, mereka kembali akrab bahkan tertawa bersama-sama. Dari mereka saya jadi belajar bagaimana hidup saling mengasihi itu.”
Relasi suami-isteri yang harmonis, pada gilirannya berpengaruh terhadap pembentukan karakter dan perilaku anak(-anak). Bisakah dibayangkan perilaku anak-anak seperti apa yang akan terbentuk ketika relasi suami-isteri dipenuhi dengan pertengkaran? Tentu saja, anak-anak akan tumbuh dengan luka batin di dalamnya. Bahkan, tidak sedikit keluarga Kristen yang bergumul dengan goyahnya relasi di antara anggota keluarga. Alhasil, relasi yang ada malah saling menyakiti satu sama lain. Apakah kondisi ini yang kita harapkan? Tentu tidak, bukan?
Lalu, bagaimana agar relasi dalam keluarga bisa baik? Umumnya, sebuah relasi menjadi goyah bahkan koyak ketika ada pihak yang tidak mengerjakan apa yang seharusnya. Karena itu, setiap anggota keluarga perlu mencermati apa yang menjadi peran mereka masing-masing (mengerjakan apa yang seharusnya). Seorang isteri diminta untuk tunduk kepada suaminya (Kol. 3:18). Tunduk di sini bukan dalam pengertian takluk atau ketaatan yang membuta. Misalnya: ketika suami meminta sang isteri untuk memanipulasi laporan pajak, maka si isteri (karena tunduk), mengikuti saja kemauan suaminya. Bukan itu! Tunduk juga bukan dalam pengertian di depan suami, isteri menunjukkan ketundukannya (baca: ketaatan), tapi di belakang suami ia melawan. Tunduk yang dimaksud di sini adalah taat dalam rasa hormat kepada suami.
Seorang suami dipanggil untuk mengasihi isterinya dan tidak berlaku kasar kepadanya (Kol. 3:19). Perlakuan kasar (sekalipun hanya lewat kata-kata) akan menimbulkan luka, bahkan duka. Negara Indonesia baru pada tahun 2004 memiliki UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Tetapi, firman Tuhan, sudah dua ribuan tahun yang lalu mengingatkan agar tidak ada perlakuan kasar dalam rumah tangga.
Anak-anak diminta untuk menaati orangtuanya karena itu menyenangkan hati Allah (Kol. 3:20). Hal yang menarik adalah bahwa tuntutan itu tidak hanya ditujukan kepada anak, tetapi juga orangtua (dalam hal ini: ayah). Sebab, para bapa/ayah diminta untuk tidak menyakiti hati anaknya (Kol. 3:21). Karena itu, untuk mewujudkan sebuah keluarga yang harmonis, perlu ada pemurnian terhadap relasi dalam keluarga. Pertanyaannya, apa yang sudah saya lakukan untuk mewujudkan sebuah keluarga yang harmonis? Apa yang perlu saya lakukan (lagi) agar kerinduan mewujudkan keluarga yang harmonis dapat tercapai? Selamat memurnikan relasi dalam keluarga.
Pokok doa: