“Kata-Nya kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku”.”
(Lukas 9: 23)
No Pain, No Gain adalah motto yang umumnya dipakai oleh para atlet dan artis sebagai penanda bahwa kesuksesan atau keberhasilan adalah hasil dari kerja keras yang mereka lakukan. Sebagai atlet atau artis, mereka harus melalui masa-masa berat yang menyakitkan, baik secara fisik maupun mental. Bukan hanya berlatih dengan disiplin yang keras dan ketat, tapi mereka pun dituntut dengan target-target yang kadang terasa melampaui kemampuan mereka. Kadang dalam kesaksian mereka setelah menyaksikan para artis muda jebolan ajang pencarian bakat, mereka mengatakan tidak ada keberhasilan yang instan. Semuanya harus dilakukan dengan rasa sakit, kerja keras dan disiplin. Kalau mereka terlihat sukses sekarang ini, para artis muda ini harus melihat bagaimana mereka harus melalui proses yang tak mudah. Tidak ada kesuksesan yang instan. Proses menentukan kualitas sebab proses itu membentuk karakter dan mental si artis / atlet.
Sebenarnya motto: No Pain, No Gain ini berasal dari Pirkei Avot (The Ethics of the Father), sebuah kumpulan ajaran Rabi Yahudi pada abad ke-2. Salah seorang Rabbi Ben Hei Hei mengatakan, “According to the pain is the gain”. Tafsiran dari ajaran ini merujuk pada disiplin spiritualitas: apabila kita melakukan perintah Tuhan tanpa menderita, kita tak akan pernah bertumbuh secara spiritual. Kemudian pada tahun 1650, penyair Robert Herrick dalam karyanya berjudul Hesperides menyebut motto ini. Terakhir, Jane Fonda, artis gaek Amerika, menyebut kata-kata ini sebagai motto untuk keberhasilan hidup sehat dengan senam aerobik yang diperkenalkannya pada tahun 1982.
Kehidupan kekristenan sebenarnya menganut prinsip no pain, no gain. Pdt. Eka Darmaputra dalam satu karangannya menyebut kualitas hidup orang Kristen adalah menerima dan bertahan dalam penderitaan. Mengkritisi beberapa kelompok Kristen yang memilih memercayai teologi sukses, pak Eka menegaskan bahwa kekristenan tanpa penderitaan adalah omong kosong. Orang Kristen atau gereja yang menolak penderitaan bukanlah orang Kristen sejati. Alasannya, dalam Alkitab bertebaran pemaknaan penderitaan sebagai bagian dari kualitas hidup beriman yang diajarkan Allah. Bahkan perkataan Kristus, yang dihayati-Nya dalam perjalanan salib, mensyaratkan hidup beriman merupakan satu kesatuan dengan jalan penderitaan: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” Syarat ini merupakan harga mati bagi setiap pengikut-Nya, dan Dia tawarkan sebelum kita mengambil keputusan untuk mengikut Dia. Syarat yang lebih mementingkan proses menjadi pengikut-Nya daripada hasil. Syarat yang mengajak kita berpikir ulang dan serius apa artinya mengikut Dia, bukan sekadar iming-iming hasil yang membahagiakan. Selamat mengikut Dia.
(Pdt. Linna Gunawan)