
“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku”.
(Yohanes 15 : 15)
Sejak minggu lalu, pada warta jemaat sudah diwartakan nama-nama katekisan remaja yang akan dibaptis dan mengaku percaya (sidi). Kalau kita melihat nama-nama para katekisan, kita menyadari bahwa mereka berasal dari etnis yang beragam. Selain etnis yang beragam, mereka juga belajar memahami karakter sendiri dan karakter teman-temannya melalui tes Myers Briggs Type Indicator (MBTI). Di sana mereka melihat bahwa keragaman etnis dan keragaman karakter bukanlah penghalang bagi persahabatan yang Tuhan anugerahkan. Di kelas katekisasi, para katekisan belajar bahwa persahabatan dengan yang Ilahi dan insani adalah anugerah yang harus disyukuri dan dikelola.
Di tengah perbedaan yang ada, mereka belajar pola kepemimpinan persahabatan di dalam beragam pelayanan gerejawi yang difasilitasi untuk mereka. Mereka menjadi koordinator, maupun menjadi anggota tim. Namun, posisi itu bukanlah menentukan siapa yang paling berkuasa atau menjadi boss. Koordinator maupun anggota tim belajar untuk saling mengasihi dalam kasih persahabatan (filia) di tengah ketidaksempurnaan mereka. Karena itu, mereka tidak boleh anti kritik. Segala kritik harus disampaikan untuk membangun dan bukan untuk menjatuhkan.
Mengapa mereka belajar pola kepemimpinan yang bersahabat? Pertama, kepemimpinan persahabatan adalah salah satu nilai yang dikembangkan oleh Tuhan Yesus dalam kepemimpinan-Nya. Tuhan Yesus mengatakan, “Aku tidak lagi menyebut kamu sebagai hamba, melainkan sebagai sahabat”. Edward C. Zaragoza dalam bukunya No Longer Servant, But Friends mengatakan bahwa di dalam relasi persahabatan pada sebuah komunitas, harus terdapat kesetaraan dan persatuan dalam ikatan cinta kasih untuk memberdayakan dunia. Berangkat dari definisi ini, maka setiap orang harus diperlakukan setara. Di dalam kepemimpinan yang bersahabat, perbedaan usia, generasi, gender, etnis, dan karakter, tidaklah menjadi penghalang. Perbedaan adalah kekayaan dalam sebuah persahabatan yang harus dikelola dengan baik.
Kedua, mereka belajar bagaimana pola persahabatan dalam pola kepemimpinan di GKI. Ingatlah, bahwa suatu saat mereka juga akan menjadi penatua atau bahkan ada yang akan menjadi pendeta. Dalam teologi jabatan di GKI yang menganut imamat am orang percaya, penatua dan pendeta tidak lebih tinggi kedudukannya di hadapan Tuhan, ketimbang seseorang yang tidak berjabatan gerejawi. Sebagai imamat am orang percaya, kita semua harus bahu-membahu bersama dengan Tuhan yang telah menjadikan kita sebagai sahabat-Nya untuk menghadirkan cinta kasih sehingga berdampak baik bagi dunia.
Berdasarkan dua alasan ini, sungguh jelas bahwa kepemimpinan yang bersahabat adalah salah satu nilai yang dikembangkan di dalam pelayanan intergenerasional. Kalau para katekisan saja sudah belajar kepemimpinan yang bersahabat sebagai salah satu nilai pelayanan intergenerasional, bagaimana dengan Saudara? Marilah kita bersama-sama dapat juga menjiwai dan menerapkannya pada setiap pelayanan kita.
(Pdt. Yesie Irawan)