
“Lalu pergilah Ananias ke situ dan masuk ke rumah itu. Ia menumpangkan tangannya ke atas Saulus, katanya: “Saulus, saudaraku, Tuhan Yesus, yang telah menampakkan diri kepadamu di jalan yang engkau lalui, telah menyuruh aku kepadamu, supaya engkau dapat melihat lagi dan penuh dengan Roh Kudus.”
(Kisah Para Rasul 9 : 17)
“Dia kan orang jahat? Dan dia datang ke sini untuk menangkap para pengikut Yesus. Masak aku harus berbuat baik kepadanya?” Kurang lebih, itulah inti keberatan Ananias terhadap perintah Allah baginya guna menjumpai Saulus (lihat Kis. 9: 1 – 19a). Jika dicermati, pernyataan Ananias itu sangat manusiawi, bukan? Siapa yang tidak sebal dan takut kepada orang yang telah berbuat jahat pada komunitas yang dikenalnya? Jika memang pernyataan Ananias itu manusiawi, lalu apa persoalannya?
Ketika saya membaca kisah ini, muncul pertanyaan kritis, “Apakah melakukan perintah Tuhan (d.h.i.: berbuat baik) bergantung pada situasi tertentu?” Misalnya: kalau saya merasa nyaman dengan orang yang dituju maka saya akan berbuat baik. Tetapi, jika sebaliknya, tidak; mendekatinya pun enggan. Apakah seperti itu pemahamannya? Spiritualitas kita akan mengatakan bahwa tidak begitu seharusnya. Kita harus bersedia mengerjakan perintah Allah sekalipun ada lapisan rasa tidak suka atau takut dalam diri kita terhadap orang-orang tertentu.
Ananias, pada akhirnya mau membuka diri pada pekerjaan Allah, untuk menemui Saulus. Perhatikan ayat 17. Ananias menyapa Saulus (yang dulunya menunjukkan sikap permusuhan terhadap para pengikut Yesus) dengan sebutan “Saudara” (Yun: adelphos). Bukankah di sini kita melihat ada transformasi pemahaman dan sikap dalam diri Ananias? Ananias tidak “memukul” Saulus, melainkan justru merangkulnya sebagai adelphos.
Lebih jauh, kata Yunani: adelphos memiliki 4 arti – sesuai dengan penggunaannya dalam Alkitab, yakni: (1) saudara sedarah (mis.: Mat. 1: 2); (2) anggota dari suku yang sama, negeri yang sama, bangsa yang sama (mis.: Kis. 3: 22); (3) hubungan kasih yang membentuk suatu komunitas (mis.: Mat. 12: 50); dan (4) anggota sesama komunitas Kristen (mis.: Yoh. 21: 23).
Jika kisah di atas coba kita maknai dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia pasca Pemilu 2019, maka kita diingatkan bahwa sesama anak bangsa sesungguhnya adalah saudara kita. Mungkin saja pada masa kampanye yang lalu, kita pernah terluka oleh kata-kata atau kabar bohong dari mereka yang berseberangan pandangan politiknya dengan kita. Namun situasi itu bukanlah alasan bagi kita untuk tidak merangkul mereka yang adalah saudara (sebangsa) kita. Apalagi, pemilu telah usai. Saatnya kembali bekerja untuk membangun bangsa.
Bangsa Indonesia, sudah sejak semula, dikaruniai aneka perbedaan sebagai kekayaan bangsa. Aneka perbedaan itu tidak menggoyahkan tekad kaum muda dari berbagai daerah untuk menggelorakan kebangkitan nasional dan lantas bermuara pada Sumpah Pemuda. Mereka bisa saling merangkul, karena menghayati bahwa mereka adalah sesama saudara sebangsa.
Marilah kita mengembangkan semangat persaudaraan yang merangkul sesama anak bangsa. Bangsa yang kuat ditandai oleh persaudaraan di antara masyarakat yang sehat. Soli Deo Gloria.
(Pdt. Natanael Setiadi)