Warta Minggu Ini
MAJU TERUS PANTANG MUNDUR, BELA YANG BENAR

“Pada waktu itulah orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!”
(Matius 13 : 43)

Ada ungkapan demikian: “Maju terus pantang mundur, kita bela yang bayar.” Mengapa sampai muncul ungkapan tersebut? Apakah maksudnya? Apa yang sesungguhnya terjadi di tengah kehidupan masyarakat? Bukankah lebih elok dan lebih berpengharapan ungkapan yang seperti ini: “Maju terus pantang mundur, kita bela yang benar?”

Kita bisa menduga kemunculan ungkapan maju terus pantang mundur, kita bela yang bayar merupakan sindiran keras atas keculasan praktik kebenaran yang terjadi di tengah masyarakat. Sebagian orang sulit memperoleh pembelaan atas kebenaran, karena hal itu tergantung dari seberapa besar uang yang dapat diberikan untuk membeli kebenaran. Dengan demikian, bukan nilai-nilai kebaikan yang diperjuangkan, melainkan orientasi perjuangannya digantikan dengan seberapa banyak hasil materi yang akan didapatkan dengan cara yang instan. Orang sudah tidak sabar dengan proses yang harus dilalui untuk menggapai harapannya. Adanya semboyan “Lebih cepat, lebih baik karena efisien dan efektif” secara berlebihan dapat menjerumuskan manusia untuk tidak menghargai lagi proses yang semestinya dilalui. Bukankah manusia itu sesungguhnya makhluk yang berproses?

Bagaimana sikap kita terhadap praktik jual beli kebenaran? Jika kita lihat dalam Injil Matius 13 : 24 – 30, 36 – 43, pada dasarnya lalang dan gandum memiliki kesempatan yang sama untuk hidup. Hal ini jelas ketika hamba-hamba akan mencabuti lalang, tuannya tidak memperkenankan (ayat 29). Hal ini menandakan kebaikan-keburukan, ketulusan-kemunafikan, kesetiaan-kedurhakaan, dapat hidup ber-dampingan dan terkadang sulit untuk dibedakan. Tetapi seberapa banyak kita merasa heran atas apa yang terjadi yang mencuatkan tentang kejahatan, kemunafikan, kedurhakaan tersebut? Namun, meski selalu ada kebaikan-keburukan, ketulusan-kemunafikan, kesetiaan-kedurhakaan, pada waktunya nanti akan dipisahkan, dan ditempatkan pada tempatnya masing-masing (ayat 41, 42). Hal yang perlu dilakukan oleh setiap orang percaya adalah mewujudnyatakan kesetiaan dalam setiap penggodaan, memperjuangkan untuk selalu menebarkan kebaikan dengan sigap menerima segala risiko yang akan terjadi. Pada akhirnya mereka akan menuai yang baik atas segala jerih payahnya tersebut, jauh melampaui apa yang dibayangkannya (ayat 43).

Memperjuangkan nilai-nilai kebaikan sampai akhir merupakan panggilan orang-orang percaya. Sebagai wujud pembuktian bahwa orang-orang percaya sungguh-sungguh telah menerima semua kebaikan dari Tuhan Allah. Apa yang telah diterima dari Tuhan Allah, bagi orang-orang percaya merupakan modal mewujudnyatakan nilai-nilai kebaikan. Oleh karena itu, sebagai orang percaya, kita harus selalu mempertanyakan kepada diri kita sendiri sampai di manakah kita telah memperjuangkan nilai-nilai kebaikan di tengah-tengah keberadaan kita ini. Salam perjuangan. Salam kemerdekaan. Kiranya Tuhan memberkati.

(Fransiska D. Aprila)

BUAH JATUH TAK JAUH DARI POHONNYA
“Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu…” (Amsal 1: 8) Suatu kali Charlie Chaplin pernah diajak...