Warta Minggu Ini
LET IT SNOW

“Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”
(Roma 8: 38 – 39)

Sebagai anak Indonesia, salju adalah konsep yang asing buat saya tetapi sangat menarik hati, karena itu pulalah saya menyukai Natal. Satu bulan sebelum Natal, ibu saya sudah memperdengarkan lagu-lagu Natal di rumah, salah satunya lagu Let It Snow. Saya mendengar lagu itu pertama kali ketika saya berumur 6 tahun. Walau lagu itu tidak bicara sama sekali tentang Natal, saya terlanjur mengasosiasikannya dengan Natal, apalagi secara khusus salju disebut disitu. Lagu ini berkisah tentang sepasang kekasih yang enggan berpisah, apalagi di luar salju turun dengan deras. Ketika tiba saatnya untuk pulang, kalimat sang pria selalu menghangatkan hati saya “But as long as you love me so / Let it snow, let it snow, and snow” (Selama kau tetap mencintaiku, tidak apa salju turun).

Kesetiaan sang pria mengingatkan saya pada kasih setia Tuhan kepada kita. Saat kita mengalami derita seringkali doa demi doa diucapkan, airmata demi airmata turun, tetapi kita tak juga keluar dari derita itu, pertanyaan ‘dimana Tuhan’ akhirnya terucap. Penderitaan kadang membuat kita kurang peka terhadap kesetiaan Tuhan karena fokus kita hanya pada penderitaan tersebut.

Ibu saya mengalami depresi yang panjang. Ia tidak mengerti Tuhan yang pengasih membiarkannya mengalami kesusahan sedemikian. Ketidakmengertian ibu saya, dan mungkin pada banyak orang, berpusat pada titik tumpu penderitaan. Kita melihat penderitaan sebagai fokus perhatian – penderitaan itu menyelimuti hati dan pikiran kita. Akhirnya penderitaan itu menjadi penjara yang membuat kita tidak bahagia dan berduka berkepanjangan. Akibatnya kita menganggap bahwa Tuhan tak lagi memperhatikan kita, Tuhan terasa sangat jauh. Padahal kitalah yang memasukkan diri kita ke dalam penjara penderitaan itu.

Apapun yang terjadi dalam hidup kita, semestinya titik tumpu kita adalah pada Tuhan, dengan demikian kita bisa melihat bahwa Tuhan tak pernah jauh. Nabi Yesaya mencatat “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu” (Yesaya 46 : 4).

Fokus kepada penderitaan membuat kita buta dan kehilangan pandang padahal Tuhan tak putus-putusnya memberikan kebaikan demi kebaikan dalam hidup. Pemeliharaan-Nya masih berjalan terus, Ia tidak pernah mengatupkan berkat-Nya apapun keadaan yang kita alami. Inilah yang diamini Paulus dan diingatkannya pada jemaat Roma, bahwa tak ada apapun yang bisa memutuskan kasih Tuhan dari anak-anak-Nya.

Pada masa Adven ini, jika hati kita berat oleh duka dan derita, mari ganti fokus mata kita dan mengarahkannya pada Tuhan. Kita tak perlu takut lagi atas apapun yang sedang / akan menimpa kita. Ia telah mengasihi kita dan akan terus mengasihi kita. As long as you love me so / Let it snow, let it snow, and snow.

(Novi Lasi)

HARI IBU
“Isteri yang cakap siapa yang dapat menemukannya? Ia jauh lebih berharga daripada permata. Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak...