
“Ketika itu terbukalah mata mereka dan mereka pun mengenal Dia.”
(Lukas 24: 31)
Peristiwa kematian Yesus, dilanjutkan dengan kubur kosong pada hari ketiga, bukanlah peristiwa yang mudah diterima oleh para murid dan pengikut-Nya. Sosok Yesus, yang mereka harapkan menjadi Mesias, harus mati dengan cara yang begitu hina, disalib, bahkan kemudian hilang dari kubur. Secara manusia, hari-hari mereka begitu mengejutkan dan melelahkan secara emosional. Karena itu, Alkitab mencatat ketika Yesus menampakkan diri-Nya dalam beberapa kesempatan, para murid tidak mudah percaya dan tidak mengenali-Nya.
Salah satunya ialah peristiwa perjumpaan Yesus dengan kedua murid dalam perjalanan ke Emaus. Murid-murid ini menganggap Yesus sebagai “Orang Asing”. Namun sepanjang perjalanan yang jauh itu, “Orang Asing” ini terus bercerita dan menjelaskan kepada mereka tentang seluruh isi Kitab Suci, tentang Mesias yang harus menderita. Karena hari telah menjelang malam, dan “membuka rumah bagi orang asing” adalah sesuatu yang memang diajarkan Yesus, maka kedua murid meminta “Orang Asing” ini tinggal bersama mereka. Seorang teolog menggambarkan momen ini sebagai momen di mana Yesus – “Orang Asing” yang misterius ini, sesungguhnya sedang menantang kedua murid untuk membuka ruang dalam diri mereka (baca: pemahaman mereka) tentang Mesias. Keterbukaan kedua murid untuk mendengarkan dan menerima “Orang Asing” ini untuk tinggal malam itu, sangat krusial. Ayat bacaan kita hari ini mengungkapkan bahwa malam itu, terbukalah mata mereka sehingga mereka bisa mengenali bahwa “Orang Asing” ini ialah Yesus sendiri. Pengalaman yang kemudian menjadi titik yang mengubahkan hidup mereka.
Kisah perjalanan ke Emaus ini sesungguhnya mengajarkan kita sebuah nilai penting tentang Christian Hospitality: keterbukaan iman. Keterbukaan seharusnya terjadi pada diri setiap orang percaya, bukan hanya kepada sesama manusia yang kelihatan, tapi yang terutama, kepada Tuhan yang tidak terlihat. Di tengah zaman yang semakin mengagungkan ruang privacy, kita semakin sulit membuka diri. Bukan hal yang mudah untuk menerima “orang asing” masuk ke “rumah” kita. Kita sibuk dengan kepentingan diri (pekerjaan, keluarga, bahkan pelayanan). Tapi dalam kehidupan iman, kita sebetulnya tertutup, tidak bertumbuh dan tidak serius mengenal Tuhan dengan benar.
Kehidupan seorang Kristen tidak cukup hanya sebagai tanda identitas, rutinitas ke gereja dan pelayanan. “Selubung mata” kita mungkin masih tertutup, kita hidup dengan cara kita sendiri dan menempatkan Yesus “di luar rumah” kita. Karena itu, keterbukaan kepada Tuhan adalah langkah penting dalam kehidupan kita. Membuka diri dan menyambut-Nya dalam hidup kita. Mengalami-Nya sungguh ada dan hidup. Membiarkan-Nya masuk ke dalam hati kita dan mengubahkan banyak hal yang Ia mau dari hidup kita, sekalipun itu tidak enak dan tidak nyaman.
(Illona Farolan)