 
						 
						“Jawab Yesus : “Bukan dia dan bukan juga orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”
(Yohanes 9 : 3)
Berapa banyak orang dengan disabilitas atau keluarga yang mengharapkan kesembuhan? Orang dengan disabilitas juga adalah kelompok yang seringkali dikenakan stigma sebagai orang yang berdosa atau sebagai akibat dosa orangtua mereka. Oleh karena itu tidak jarang juga dalam kebaktian kesembuhan, seolah-olah jika mereka bertobat dan cukup beriman maka mereka akan memperoleh kesembuhan. Tentu saja yang dimaksud kesembuhan dalam hal ini adalah kesembuhan secara biologis. Jadi kondisi biologis dianggap menjadi ukuran dosa atau ukuran iman manusia.
John F. Bagget, dalam Seeing Through the Eyes of Jesus: His Revolutionary View of Reality and His Transcendent Significance for Faith, menyelidiki konsep yang menyebutkan segala penderitaan adalah akibat dari dosa, berasal dari pemahaman masyarakat Galilea yang hidup pada abad pertama. Ia menyatakan bahwa pada masa itu orang sakit dan yang mengalami disabilitas diberi stigma, yaitu dianggap melawan nenek moyang, merusak atau menodai obyek sakral, atau melawan para dewa. Pemahaman ini tampaknya mengalami sedikit perubahan pada masa Yesus. Orang-orang yang hidup pada masa Yesus percaya bahwa segala penyakit dan kondisi disabilitas adalah akibat melawan Allah. Jika pemahaman ini yang dipelihara hingga saat ini, maka tidak heran jika pandangan yang ditujukan terhadap orang dengan disabilitas dan keluarganya cenderung sinis karena melihat keberadaan mereka dari perspektif dosa.
Dalam kitab-kitab Injil disaksikan bahwa Yesus menyembuhkan banyak orang lumpuh, buta, tuli, dan berbagai keadaan lainnya. Dalam tindakannya tersebut, Yesus tidak hanya mementingkan aspek fisik (curing), melainkan pemulihan keadaan seorang pribadi secara menyeluruh, mengembalikannya menjadi manusia yang hidup dengan harkatnya (healing). Bagi Kathy Black, dalam A Healing Homiletic: Preaching and Disability, “healing” melampaui “curing” karena terkait dengan pemulihan integritas sebagai manusia. “Healing” juga terkait dengan pengharapan, yang sama sekali tidak disentuh dalam pemaknaan “curing”, karena “curing” hanya sekadar soal memperbaiki tubuh yang dianggap “rusak”, tidak terkait dengan bagaimana orang tersebut berelasi dengan Tuhan dan sesama ciptaan lainnya.
Dalam Yohanes 9, tentang keadaan seorang yang buta, Yesus menegaskan bahwa “bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” Sedangkan terhadap seorang perempuan yang mengalami stigma menjijikkan dalam masyarakat karena mengalami pendarahan selama dua belas tahun (Markus 5 : 25 – 34), Yesus menyapa dengan sapaan “Anakku…” Tindakan dan kata-kata Yesus tentu saja mengherankan bagi orang-orang sekitar-Nya. Yesus menyatakan bahwa kita semua berdosa, baik orang dengan disabilitas maupun orang yang tidak (belum) mengalami disabilitas dan itu artinya kita semua perlu bertobat. Akan tetapi kondisi disabilitas bukanlah karena dosa.
Kesembuhan yang dilakukan oleh Yesus berarti beberapa hal, yaitu: pertama, Yesus tidak memberi stigma pribadi-pribadi dengan penyakit dan kelemahannya; kedua, Yesus memahami bahwa kesembuhan berarti pemulihan relasi yang diwujudkan dengan penerimaan dalam komunitas; ketiga, berbagai karya kesembuhan menunjukkan identitas Yesus sebagai Kristus, dan ini menunjukkan keberpihakan Allah kepada mereka yang dipinggirkan oleh masyarakat. Yesus memberi teladan kepada kita untuk mengutamakan cinta dan belas kasih di dalam komunitas beriman. Sudahkah kita mewujudkannya?
(Pokja Studi Disabilitas GKI Kayu Putih)
