“Sebab keinginan manusia bertentangan dengan keinginan Roh Allah, dan keinginan Roh Allah bertentangan dengan keinginan manusia. Kedua-duanya saling berlawanan, sehingga kalian tidak dapat melakukan apa yang kalian inginkan.”
(Galatia 5 : 17 BIS)
Ada sebuah kisah tentang pertandingan antara seekor belalang dengan seekor anjing. Sang anjing menantang belalang untuk melompat pagar yang tinggi dan tantangan tersebut diterima oleh si belalang. Pertama-tama, anjing melompat dan berhasil melewati pagar tembok tersebut. Sekarang giliran belalang untuk melompati pagar tersebut, sayangnya dia tidak berhasil dan hanya berhasil melompat ¾ pagar tersebut. Sang anjing dengan pongah mengatakan bahwa dia hebat dan dialah pemenangnya. Sang belalang belum mau mengakui kekalahannya akan lomba pertama.
Tak kalah sombongnya, dia menantang anjing untuk lomba kedua dan kali ini giliran sang belalang yang menentukan jenis perlombaan kedua. Belalang menantang sang anjing untuk melompat setinggi mungkin di tempat, di mana kemenangan akan diraih oleh mereka yang melompat berapa kali lipat tubuhnya sendiri. Anjingpun setuju dengan tantangan tersebut. Anjing melompat setinggi mungkin dan berhasil melompat setinggi empat kali tubuhnya. Kini, giliran belalang yang melompat dan hasil lompatannya hanya setengah dari hasil lompatan anjing. Namun lompatannya itu setara dengan empat puluh kali tubuhnya dan berarti belalang memenangi lomba kedua tersebut.
Lalu, anjing menantang melakukan perlombaan ketiga untuk menentukan pemenangnya. Kali ini belalang tidak setuju karena dia sadar bahwa masing-masing memiliki potensi dan standar kemenangan tersendiri. Akhirnya keduanya menyadari bahwa kemenangan sejati adalah ketika mereka dengan potensi yang dimiliki bisa melampaui standar diri sendiri.
Tanpa kita sadari, seringkali kita juga bertingkah laku seperti kisah tersebut di atas. Kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain. Misalnya, si Banu memiliki mobil BMW seri terbaru sedangkan saya hanya memiliki “BMW” (Bajaj Merah Warnanya). Atau, si Banu mempunyai pekerjaan sebagai direktur sedangkan saya hanya karyawan biasa. Hasilnya? Ada kalanya muncul perasaan-perasaan negatif, seperti iri hati atau kecewa pada diri sendiri, yang mengalahkan rasa syukur atas kehidupan. Namun, pada orang tertentu perbandingan itu bisa menjadi motivasi untuk berjuang dan berusaha lebih tekun dan lebih sukses.
Rasul Paulus dalam nasihatnya kepada jemaat Galatia mengajarkan cara yang lebih baik untuk mengukur prestasi, yaitu bukan membandingkan diri kita dengan orang lain, melainkan mengukur diri kita sendiri. Dalam diri manusia, menurut Paulus, ada keinginan Roh dan keinginan daging. Keberhasilan kita adalah ketika kita mampu mengalahkan keinginan daging dan mengikuti keinginan Roh. Hal ini misalnya saja diukur dari seberapa besarkah kemajuan yang telah kita lakukan dalam menolong sesama, memelihara kualitas ibadah, relasi yang erat dengan Allah dan orang lain, bersyukur atas hidup ini, dan sebagainya.
Saya ingat pepatah orang bijak: kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas orang lain, melainkan kemenangan atas hawa nafsu diri sendiri. Selamat Tahun Baru. Selamat berlomba dengan diri sendiri. Kiranya Tuhan memberkati kita.
(Ryadi Pramana)