Warta Minggu Ini
KEARIFAN BUDAYA KRISTEN

KRISTEN = BARAT?

Mengangkat Kearifan Budaya

Orang Kristen Indonesia

Linna Gunawan

 

  1. BERKACA DIRI PADA MASA LALU

 

“Jadi, kenapa Kristen Indonesia harus menjadi peraga barat?”[1]

 

Kalimat itu berasal dari Remy Silado, sastrawan Indonesia. Dalam refleksi Natal-nya di majalah Gatra, Remy mengkritik gaya kekristenan di Indonesia yang berbau kebarat-baratan. Misalnya saja, tayangan mimbar Kristen di stasiun televisi di Indonesia yang menghadirkan presenter dan pengkhotbah yang “senang” bergaya bahasa ke-Inggris-inggris-an. Atau penghayatan Natal yang di dunia barat sudah terpengaruh budaya konsumtif ternyata dihayati pula oleh orang Kristen di Indonesia. Remy membandingkan kekristenan di negara Asia lain yang mulai mengangkat budaya lokal, misalnya melalui seni lukisan yang dipakai untuk membangun “wajah” Yesus sesuai dengan konteksnya.[2]

 

Apabila kita merefleksikan kritik Remy Silado terhadap kekristenan di Indonesia, bukanlah hal yang mengejutkan apabila tuduhan agama Kristen adalah agama penjajah masih kadang terdengar di telinga kita. Pada kenyataannya praktek kekristenan Barat masih “membumi” pada kekristenan di Indonesia. Bukan hanya sekedar “gaya” orang Kristen Indonesia, melainkan dalam doktrin, ibadah, liturgi, nyanyian[3], dan sebagainya. Kenyataan ini sedikit banyak mempengaruhi keberadaan Kristen di Indonesia.

 

Budaya Barat adalah budaya Kristen. Budaya Kristen adalah budaya Barat. Konsep teologis “terang dan gelap” sangat dipegang teguh oleh orang-orang barat yang pergi ke seluruh dunia, termasuk mereka yang datang ke Indonesia pada abad ke-15/16. Bagi mereka, orang yang menjadi Kristen meninggalkan segala kebiasaannya yang “gelap.” Kebiasaan-kebiasaan yang harus diubah bukan hanya terkait dengan kebiasaan moral dan karakter tetapi juga kebiasaan lainnya, seperti bertelanjang dada, mengenakan sarung. Pada misi awal Katolik yang datang bersama dengan rombongan Portugis, ketika seorang kepala suku Ternate dibaptis maka dia diberi nama baru, mengenakan gelar raja Portugis.[4]

 

Keadaan ini semakin luas dan kental dengan munculnya rasa superioritas bangsa Eropa sebagai pengaruh dari aliran Pencerahan. Saat itu pencerahan membawa Eropa sebagai bangsa yang unggul, bangsa yang maju. Bangsa-bangsa lain dianggap ketinggalan. Apabila bangsa-bangsa tersebut mau maju, mereka harus meniru bangsa Eropa. Menurut van den End, sikap ini mempengaruhi pula pandangan terhadap agama Kristen. Kalau sebelum pencerahan, orang Eropa menganggap hanya mereka yang mempunyai agama yang benar (Kristen), setelah pencerahan pemahaman ini semakin mengental dalam diri orang Eropa.[5]

 

Misalnya saja pada jemaat di Jawa Timur pada abad ke-19. Pada saat itu penginjil Emde dari Jerman menerapkan aturan ketika seorang menjadi Kristen harus juga menerima adat istiadat Eropa:[6]

Mereka harus memotong rambut, mengganti sarung dengan celana, melepas keris-kerisnya; mereka tidak boleh lagi menonton wayang, mendengarkan gamelan, menyelenggarakan selamatan, dan sebagainya, sebab hal-hal itu dipadang sebagai kekafiran.

 

Sebenarnya dalam sejarah masuknya Injil ke Indonesia, ada pula para pekabar Injil yang menggunakan budaya lokal setempat. Nama-nama penginjil C.L. Collen (Ngoro, Jawa Timur), F.L. Anthing (Jawa Barat), dan Kiai Sadrach (Jawa Tengah) menggunakan budaya lokal sebagai sarana pekabaran Injil. Misalnya saja mereka memakai istilah “jampi,” “ngelmu” bahkan “slametan.” Jampi-jampi yang dirapalkan berulang-ulang dalam bahasa Jawa sebenarnya berisi pengakuan iman pada Allah Tritunggal. Demikian pula “ngelmu” sebenarnya adalah belajar Alkitab dengan cara dialog, taya jawab, dengan duduk di lantai. Slametan yang menjadi acara kumpul bersama penduduk setempat dan berdoa dilakukan pula pada peristiwa-peristiwa khusus, misalnya setelah baptisan.[7]

 

Cara-cara penginjilan yang menggunakan budaya lokal mendapat tentangan keras. Pertama, misionaris-misionaris Eropa menuduh mereka melakukan sinkretisme terhadap kekristenan. Kedua, orang-orang Islam di Indonesia menuduh cara-cara mereka sebagai bentuk “kristenisasi” terhadap pemeluk Islam. Ketiga, orang-orang Kristen sendiri yang merasa lebih “nyaman” menggunakan cara-cara Kristen Barat. Hal ini bisa saja, salah satu penyebabnya adalah secara psikologis, dengan menganut agama Kristen Barat, status mereka yang tadinya rendah sebagai “kafir” meningkat menjadi beradab. Mereka memiliki harga diri baru dengan menjadi Kristen ala Barat.[8]

 

  1. KEARIFAN BUDAYA INDONESIA

Pada masa kini, dunia kita berubah. Sekarang ini konsentrasi terhadap budaya barat sebagai budaya paling unggul telah berubah. Budaya barat yang superior telah berubah wajah dengan penghargaan terhadap nilai-nilai budaya lain. Budaya barat yang dulu menindas menjadi terbuka pada nilai-nilai persamaan derajat, hak dan kesempatan di hadapan Tuhan dan sesama. Oleh karena itu pada studi-studi poskolonial, peralihan budaya dari budaya Barat mengarah pada budaya lokal. Budaya lokal diyakini pula memiliki kearifan yang berguna bagi kehidupan manusia. Kearifan lokal (local wisdom) diakui memiliki tatanan nilai hidup yang bersifat universal.[9]

 

Salah satu kearifan lokal yang menjadi ciri khas budaya Indonesia adalah kebersamaan atau persekutuan.[10] Sejak awal berdiri, bangsa kita telah menyadari keberagaman budaya, kepercayaan, suku, dan bahasa yang ada di dalamnya. Kebersamaan ditengah keberagaman ini secara alamiah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Semangat kekeluargaan, saling tolong menolong, menghargai perbedaan, dan menerima sesama apapun latar belakangnya menjadi ciri kebersamaan yang dibangun oleh bangsa kita. Bahkan penghayatan keberagaman dan kebersamaan ini terhayati begitu dalam sehingga muncul ungkapan-ungkapan bijak dari berbagai daerah yang mengagungkan ciri budaya tersebut.[11]

 

Saya ingat pengalaman masa kecil tentang kebersamaan hidup di tengah perbedaan. Warga tempat tinggal saya memiliki kepelbagaian latar belakang etnis, status sosial maupun agama. Hampir setiap sebulan sekali kami membersihkan lingkungan tempat tinggal secara gotong royong. Tidak ada yang tidak bekerja. Begitu pula saat perayaan keagamaan atau tradisi dari etnis tertentu, pasti kami merayakannya bersama. Saling kunjung mengunjungi tanpa rasa takut karena perbedaan. Keluarga kami pun menjadi persabahatan dengan beberapa keluarga warga kampung tersebut. Persahabatan ini masih berlangsung sampai saat ini walaupun kami sudah pindah dan tinggal berjauhan.

 

Contoh lain dari kearifan lokal Indonesia tentang kebersamaan adalah pada saat konflik terjadi, maka jalan penyelesaian selalu ditempu dengan cara kekeluarga. Beberapa budaya lokal daerah memiliki adat istiadat untuk menyelesaikan masalah. Misalnya, Maluku punya tradisi pela gandong untuk menyelesaikan pertikaian antara Kristen dan Islam.[12] Secara meng-indonesia, dalam UUD 1945 dan Pancasila, perbedaan pendapat (baca: konflik) dan pengambilan keputusan dilakukan tidak dengan cara bertikai atau menggunakan kekerasan, tetapi lewat jalan dialog alias musyawarah mufakat.

 

  1. KEARIFAN BUDAYA ORANG KRISTEN INDONESIA: UPAYA KONTEKSTUALISASI.

 

Berbicara tentang kearifan budaya orang Kristen di Indonesia tentu kita tidak bisa melepaskannya dari konteks Indonesia sendiri. Masalahnya, sejak awal “wajah” kekristenan yang dibawa oleh para pekabar Injil sangat kental dengan budaya Barat. Sayangnya “wajah” ini pun belum banyak berubah dalam kekristenan Indonesia.[13] Oleh karena itu upaya kontekstualisasi kekristenan ala Indonesia harus terus menerus dilakukan agar Injil keselamatan (baca: kabar baik damai sejahtera Allah) terjadi di bumi Indonesia.

 

Ketika kita mengangkat salah satu kearifan lokal Indonesia adalah kekeluargaan dan kebersamaan, minimal ada dua upaya kontekstualisasi yang kita lakukan untuk menemukan kearifan budaya orang Kristen yang khas Indonesia.

 

  1. Rekonstruksi Misi Kristen.

 

Pada saat agama Kristen dibawa ke Indonesia, misi Kristen Barat adalah mengkristenkan sebanyak mungkin orang. Usaha pekabaran Injil diarahkan pada memperbanyak orang yang menganut agama Kristen. Selain itu kekristenan barat saat itu pula diikuti oleh semangat 3G (Gold, Glory, Gospel) dari bangsa Eropa, sehingga dalam pemberitaan Injil ada pula kepentingan-kepentingan pemerintah untuk mendapatkan keuntungan. Penduduk dari negara jajahan dikristenkan agar pemerintah mudah menaklukannya dan mendapat keuntungan dari kekayaan negara tersebut.

 

Misi Kristen di Indonesia tidak tepat lagi terarah pada upaya kristenisasi (baca: memperbanyak penganut agama Kristen). Kebersamaan dan kekeluargaan yang menjadi ciri khas Indonesia terletak pada kuatnya menghargai perbedaan yang telah ada secara alami, termasuk perbedaan agama. Ketika Gereja tetap mendasarkan upaya pekabaran Injil untuk memperbanyak penganut, maka akan terjadi benturan-benturan bahkan kekerasan atas nama agama. Pada kenyataannya isu perbedaan agama menjadi isu yang sensitive dan beberapa kali menjadi penyebab ketegangan di Indonesia.

 

Rekonstruksi misi Kristen harus dimulai melalui penggalian dan penafsiran ulang pekabaran Injil (PI). Eka Darmaputra mengatakan bahwa tujuan PI bukan meng-kristen-kan, tetapi meng-Kristus-kan, yaitu mempertemukan orang dengan Kristus. PI tidak terarah pada kuantitas umat Kristen yang bertambah tetapi kualitas bagaimana Kristus secara utuh diberitakan dengan jelas dan benar.[14] Memberitakan Kristus bukan hanya memberitakan tentang ajaran-Nya tetapi juga karakter serta visi dan misi yang dibawa-Nya ketika ada di dunia. Misi Kerajaan Allah adalah misi Kristus. Kerajaan Allah adalah membawa damai sejahtera bagi seluruh makhluk. Hal ini nyata dalam salah satu karya Yesus di dunia yaitu pembebasan bagi yang miskin, yang tertindas, yang terluka, dan perlu penghiburan. Oleh karena itu menurut Eka, misi Kristen di Indoesia termasuk pula tanggung jawab sosial masyarakat.[15]

 

Misi Kristen tersebut akan sangat relevan dengan konteks Indonesia yang plural. Pelayanan Gereja berbicara pula tanggung jawab untuk mengusahakan hidup bersama secara damai di tengah perbedaan. Perbedaan apapun, termasuk agama, tidak menjadi penghambat bagi upaya-upaya mengatasi pergumulan bangsa Indonesia. Inilah bagian dari kearifan budaya orang Kristen di Indonesia: kebersamaan dan kekeluargaan. Pelayanan Gereja dengan misi Kristen yang meng-Indonesia diarahkan pada dialog dan kerja sama antar komponen bangsa yang plural da majemuk. Prinsip menghargai, menghormati dan merayakan perbedaan menjadi prinsip kasih Kristen dalam pelayanan Gereja.

 

Pelayanan Gereja lainnya adalah apa yang disebut oleh Gerrit Singgih sebagai diakonia karitatif, reformatif dan transformatif. Diakonia ini berbicara tentang peran Gereja yang berpihak pada mereka yang miskin dan terpinggirkan (peralihan dari Church for the poor menjadi Church of the poor). Gereja bergerak tidak cukup hanya memberikan bantuan karitatif, tetapi bagaimana berjuang bagi mereka yang miskin dan tertindas. Satu hal lagi yang perlu dilakukan Gereja dalam pelayanannya adalah pendidikan pembebasan bagi mereka yang miskin dan tertindas. [16] Pelayanan Gereja ini menjadi ciri kearifan budaya orang Kristen di Indonesia yang menghayati kebersamaan dan kekeluargaan dengan seluruh rakyat yang bergumul dengan masalah kemiskinan dan ketertindasan. Gereja jangan hanya menjadi “sinterklas” yang “kelihatan” kaya raya dengan gedung megah dan uang yang banyak, tetapi juga berada bersama dengan rakyat yang bergumul dengan hidupnya.

 

  1. Kontekstualisasi Ibadah Kristen.

 

Dulu, pada zaman kekristenan awal, segala hal yang berbau budaya daerah setempat dianggap mistis dan harus dibuang. Budaya yang beradab dan sesuai dengan Alkitab adalah budaya barat. Kekayaan budaya pada zaman itu tidak terakomodir dalam kehidupan ibadah Kristen saat itu. Kalau orang Kristen mengkolaborasi budaya dan kekristenan dituduh sinkretis. Padahal Indonesia yang majemuk, sangat kaya dengan budaya, adat, tradisi dan keseniannya.

 

Kekayaan budaya dan tradisi Indonesia sebenarnya bisa menjadi sarana yang tepat bagi ibadah yang memperjumpakan manusia dengan Tuhan dan sesamanya. Sebenarnya tata ibadah Minggu yang dilaksanakan oleh Gereja mengandung nilai-nilai kebersamaan sebab ibadah itu sendiri adalah persekutuan. Hanya saja, ibadah itu perlu juga alat-alat pendukung yang memudahkan orang menghayati persekutuan tersebut.

 

Dalam pengkontekstualisasian ibadah Kristen, maka perlu dilakukan upaya pembelajaran bagi orang Kristen tentang budaya dan kekristenan, sehingga orang Kristen Indonesia tidak terburu-buru menilai budaya/tradisi daerah sebagai mistis dan tidak boleh masuk ke dalam gereja. Selain itu upaya memberikan makna baru pada budaya/tradisi daerah tersebut perlu dilakukan oleh Gereja sehingga berita Injil mudah ditangkap dan dipahami melalui budaya yang masuk dalam ibadah.

 

Misalnya saja, alat musik dalam ibadah Gereja tidak hanya organ-piano tetapi bisa pula dilengkapi dengan alat-alat musik dari daerah-daerah di Indonesia yang sangat banyak. Gereja juga tidak perlu tabu dengan media-media pemberitaan Firman seperti wayang, tari-tarian daerah, seni patung atau lukis, dll. yang menjadi kekayaan kesenian daerah di Indonesia. Sarana-sarana ibadah seperti kontemplasi, meditasi yang menjadi ciri spiritualitas Asia dapat menjadi perhatian Gereja sebab beberapa budaya daerah, seperti budaya Jawa, mementingkan pula hubungan yang khusus dengan Tuhan secara pribadi. Satu hal lainnya yang tidak kalah penting adalah mengangkat nilai-nilai tradisi lokal, dimaknai secara baru dengan nilai-nilai Kristiani.[17]

 

  1. MENEMUKAN KEARIFAN BUDAYA ORANG KRISTEN INDONESIA: UPAYA TANPA HENTI.

 

Tulisan ini akan berhenti sampai disini. Namun upaya kontekstualisasi kekeristenan di Indonesia yang mengangkat kearifan lokal Indonesia adalah upaya tanpa henti. Indonesia yang majemuk dan kaya dalam budaya, tradisi, nilai-nilai hidup akan sangat bermanfaat pada pelayanan Gereja sebagai pembawa misi Allah. Selain itu, upaya pengkontektulisasikan kekristenan akan mengubah “wajah” Kristen yang barat menjadi Kristen yang Indonesia. Kristen bukan lagi “musuh” atau “produk kolonialisasi,” tetapi Kristen menjadi sahabat bangsa kita.[18]

 

DAFTAR PUSTAKA:

 

Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

 

E. Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III. Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2005, cet. ke- 2.

 

Martin L. Sinaga, dkk. (editor), Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka

Darmaputra. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005, cet. 2.

 

Th. van den End, Ragi Carita I: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010,

cet. Ke-10.

 

Artikel:

Daniel T. A. Harapan, “Ulos.” – http://h-k-b-p.blogspot.com/2008/01/ulos.html, Kamis, 24 Januari 2008.

 

Remy Silado, “Gatal di Natal,” GATRA, Edisi 7, 27 Desember 2003 –

http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id=32861

 

Sartini, “Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafat,” 2, dalam Jurnal Filsafat UGM,

http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/45/41

 

Siti Maria, “Panas Pela: Perekat Hubungan Persaudaraan” –

http://www.budpar.go.id/filedata/4551_1359-PANASPELA.pdf


[1] Silado, Remy, “Gatal di Natal,” GATRA, Edisi 7, 27 Desember 2003 http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id=32861 (diunduh pada Oktober 2010).

[2] Ibid.

[3] Perhatikanlah nyanyian-nyanyian dari buku-buku nyanyian yang dipergunakan oleh GKI: Kidung Jemaat, Nyanyian Kidung Baru, dan Pelengkap Kidung Jemaat. Sebagian besar lagu-lagu tersebut adalah lagu Himne yang ditulis pada zaman tertentu dengan konteks di negeri Barat. Untungnya Pelengkap Kidung Jemaat, yang baru belakangan terbit, banyak memuat lagu-lagu karya anak bangsa yang ditulis berdasarkan konteks Indonesia bahkan dengan langgam musik yang bercirikan Indonesia. Sekalipun sekarang ini banyak lagu rohani popular ditulis oleh composer rohani Indonesia tetapi lirik maupun musik masih kental dengan konteks barat.

[4] Van den End, Th., Ragi Carita, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010, cet. Ke-10), 39.

[5] Ibid., 140

[6] Ibid., 202

[7] Aritonang, Jan S., Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 87-101. Aritonang mengutip beberapa “jampi” yang digunakan oleh Collen:

 

Sun angandel Allah Sawiki, La Illah La Illalah,

Yesus Kristus ya Roh Ullah Kang Nglangkungi kwasanipun,

La Illah La Illalah, Yesus Kristus ya Roh Ullah.

(Aku percaya bahwa Allah adalah Esa. Tidak ada Tuhan kecuali Allah.

Yesus Kristus adalah Roh Allah punya kuasa atas segala sesuatu.

Tidak ada Tuhan kecuali Allah, Yesus Kristus adalah Roh Allah).

 

Atau rapal yang digunakan oleh F.L. Anthing:

 

Bopo Allah, Poetro Allah, Roh Soetji Allah, teloe-teloene dadi sidji;

Oepas ratjoen dadi towo, lemah sangar, kajoe angker dadi towo, isti Goesti;

Toehan Jesus Kristoes Djoeroeslamet kami salami-lamina.

(Allah Bapa, Allah Putra, Allah Roh Suci, ketiganya menjadi satu;

Racun menjadi tawar, tempat dan kayu angker menjadi tawar, oleh kehendak Allah;

Yesus Kristus adalah Juruselamat kami selama-lamanya).

 

[8] Van den End, 107

[9] Sartini, “Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafat,” 2, dalam Jurnal Filsafat UGM, http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/45/41 (diunduh Oktober 2010).

[10] Saya membatasi kearifan lokal yang diangkat hanya satu saja mengingat terbatasnya pembahasan untuk tulisan ini.

[11] Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Bappenas) mencatat beberapa ungkapan bijak dari berbagai daerah di Indonesia berisikan semangat kekeluargaan dan menghargai perbedaan. Hal ini merupakan kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia – lih. http://kppo.bappenas.go.id/files/beberapa-ungkapan-kearifan-lokal.pdf (diunduh Oktober 2010).

[12] Maria, Siti, “Panas Pela: Perekat Hubungan Persaudaraan” – http://www.budpar.go.id/filedata/4551_1359-PANASPELA.pdf (diunduh Oktober 2010).

[13] Globalisasi yang serba terbuka membawa pengaruh pula pada orientasi budaya Asia yang semakin meniru budaya-budaya barat. Sementara di dunia barat, orientasinya mengarah pada budaya Timur. Oleh karena itu tidak heran apabila di awal makalah ini saya mengangkat kritik Remy Silado kepada mimbar Kristen yang dipandu oleh presenter yang berbicara dengan dialeg kebarat-baratan.Hal ini menunjukkan bahwa masih ada orang-orang Kristen di Indonesia yang “bangga” menjadi barat. Seperti yang diuraikan van den End bahwa salah satu alasan orang Indonesia menjadi Kristen pada tahap-tahap awal kekristenan di Indonesia adalah memiliki status yang lebih tinggi dengan meniru Barat.

[14] Darmaputra, Eka, “Mengabarkan Berita Keselamatan”, dalam Sinaga, Martin L., dkk. (editor), Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputra, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005, cet. 2), 420-421.

[15] Ibid., 414-415.

[16] Singgih, Gerrit, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005, cet. ke- 2), 23-30.

[17] Contohnya tradisi ulos pada suku Batak. Daniel Harahap menulis bahwa pada zaman pra-kekristenan, ulos menjadi pakaian tradisional orang Batak. Namun pada saat kekristenan masuk tanah Batak, ulos semakin ditinggalkan karena orang mulai berbudaya barat dengan pakaian ala barat. Ulos hanya disimpan sekian lama sampai akhirnya dianggap menjadi benda “keramat” apalagi diberikan turun temurun dari nenek moyang. Padahal makna ulos pada zaman pra-kekristenan penuh dengan semangat kekeluargaan. Tradisi meng-ulosi adalah tradisi di mana orang tua memberikan doa dan nasihatnya kepada generasi di bawahnya pada saat pemberian ulos tersebut. Masa masa kini, tradisi ulos ini diberikan nilai-nilai Kristiani. Nasihat dan doa yang diberikan oleh orangtua biasanya berisi ayat-ayat Alkitab – lih. Harapan, Daniel, “Ulos.” – http://h-k-b-p.blogspot.com/2008/01/ulos.html (diunduh Oktober 2010).

[18] Darmaputra, 423. Eka menyebutkan salah satu strategi PI adalah persahabatan yang tulus, tanpa maksud tersembuyi.

GARAM DAN TERANG DUNIA
GARAM DAN TERANG DUNIA: PEREFLEKSIAN ULANG IDENTITAS GEREJA DALAM PELAKSANAAN MISI ALLAH DI DUNIA SAAT INI Linna Gunawan  ...