“Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti.”
(Mazmur 46 : 2)
Apa yang terbesit dalam pikiran saya tentang lagu-lagu himne, ternyata tidak seperti yang saya bayangkan. Dua minggu lalu, ketika saya untuk pertama kalinya datang ke acara Hymn Night, saya benar-benar tidak bisa membendung air mata saya ketika menyanyikan lagu-lagu himne, yang ternyata lagu-lagu tersebut merupakan kisah nyata kehidupan dan ungkapan hati para penulis (penyair) lagu tersebut. Beberapa lagu himne yang dibawakan sungguh membuat saya terbawa emosi, seolah saya ikut merasakan apa yang dirasakan oleh penyair saat mengalaminya dan menuangkan kesedihannya lewat syair lagunya.
It Is Well with My Soul merupakan salah satu lagu himne yang dinyanyikan malam itu, yang membuat bibir saya kelu dan tidak sanggup lagi untuk menyanyikannya. Seolah saya terhanyut bersama penulisnya, Horatio Gates Spafford yang harus menanggung kesedihan yang mendalam ketika dia harus mengarungi lautan di mana keempat putrinya meninggal karena kecelakaan kapal tahun 1873 saat melintasi Atlantik.
Beberapa bulan terakhir ini, saya terus bertanya kepada Tuhan : Mengapa kakak saya harus mengalami sakit kanker? Bukankah dia selama sepuluh tahun ini yang merawat mami dengan penuh kasih sampai berpulangnya mami? Mengapa Tuhan? Mengapa? Sepenggal syair lagu It Is Well with My Soul yang saya dengar pada malam himne tersebut dan refleksi yang disampaikan hamba Tuhan sungguh sangat menguatkan saya:
When peace, like a river, attendeth my way,
When sorrows like sea billows roll;
whatever my lot, Thou hast taught me to say,
It is well, it is well with my soul.
Saya tidak bisa menahan air mata saya, sepanjang refleksi disampaikan malam itu dan hamba Tuhan itu memberi ilustrasi persis seperti yang dialami oleh kakak saya. Hamba Tuhan tersebut menceritakan salah seorang jemaatnya yang harus mengalami sakit kanker setelah hampir sepuluh tahun jemaat tersebut merawat dengan penuh kasih suaminya yang sakit stroke. Air mata saya berjatuhan, saya malu ketika saya mengingat pertanyaan-pertanyaan saya kepada Tuhan. Seolah saya meragukan keagungan dan kebesaran Tuhan yang sudah seringkali saya rasakan selama saya mengarungi hidup ini. Meskipun jalannya tidak mudah dan saya terseok-seok melaluinya, namun tangan Tuhan selalu terulur tepat pada waktu-Nya.
Waktu Tuhan bukan waktu kita. Tidak mudah untuk tetap mengucap syukur saat kita mengalami kesedihan. Saya mengatakan kepada hamba Tuhan tersebut, “Kum (maksudnya saya) rasanya sudah tidak kuat, bu.” Dia menjawab, “Kum, sebagai seorang pelari maraton yang baik, kita harus terus berlari sampai selesai. Di sana hidup menemukan maknanya. Tuhan mau pakai Kum untuk jadi berkat buat banyak orang melalui talenta, kepintaran serta kepekaan yang ada pada Kum. Be bear and lift everything in His Hands. Dont forget that you are not alone. My prayer will always be with you, Kum.” Ketika membaca pesan singkat yang dituliskan hamba Tuhan tersebut, saya menjerit dan menangis dalam doa saya. Seperti sepenggal syair lagu di atas yang sungguh menguatkan saya, biarlah melalui badai hidup pencobaan, kita boleh semakin kuat dan tetap teguh pada keyakinan kita seperti kata pemazmur : “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti.”
Soli Deo Gloria.
(Kumalawati Abadi)