
“…tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.”
(I Petrus 1 : 15-16)
Saya sering mencoba kuliner atau mengunjungi rumah makan yang viral di media sosial. Biasanya, saat pertama kali datang, saya bertanya kepada pelayan, menu apa yang paling banyak dipesan pelanggan. Jika masih kurang puas dengan jawabannya, saya mulai melirik ke meja sekitar untuk melihat, makanan apa yang banyak dipesan pelanggan lain. Ya, karena ketidaktahuan saya ini, akhirnya saya menjadi ikut-ikutan. Karena bagi saya, ini pilihan yang mudah dan aman. Ikut saja apa kata pelayan, ikut saja apa yang banyak dipesan orang lain. Ternyata, pengalaman ikut-ikutan seperti ini tidak selalu mengenakkan. Bahkan biasanya, apa yang menurut orang lain cocok, belum tentu sesuai dengan selera kita. Mengikuti suara mayoritas, memang hal yang terasa mudah dan aman. Namun sikap itu tidak selalu menjadi pilihan yang tepat.
Sikap ikut-ikutan ini juga terjadi dalam kehidupan rohani. Sikap dan keputusan hidup yang kita ambil, seringkali lebih dipengaruhi oleh suara dan kebiasaan mayoritas orang dunia, yang justru sedang tenggelam dalam dosa. Cara hidup kita tidak berbeda dengan orang lain yang tidak mengenal Tuhan.
Ayat bacaan kita hari ini adalah panggilan hidup orang Kristen yang harus dijalani sungguh-sungguh, yaitu hidup kudus. Kudus dalam bahasa Ibrani (qadosh) memiliki arti terpisah atau tidak tercampur dengan yang lain. Hidup kudus berarti hidup memisahkan diri (dari dosa), dan sebaliknya, melekatkan diri kepada Kristus, bagaikan ranting yang tidak bisa hidup jika tidak melekat pada pohonnya. Jadi, kita dipanggil, justru untuk hidup berbeda, tidak ikut-ikutan apa kata dunia. Karena dalam kehidupan beriman, yang menjadi standar kebenaran hidup bukanlah suara mayoritas, melainkan Firman Tuhan. Kita dipanggil untuk mengikuti apa kata Tuhan, sekalipun itu berisiko dan berbeda dengan suara kebanyakan orang.
Namun kita tahu, menjalani hidup kudus di tengah dunia, sangat sulit bahkan harus diperjuangkan. Seorang rekan memberi perumpamaan kepada saya. Hidup di dunia bagaikan berjalan di sebuah tangga jalan (escalator), yang sedang mengarah turun. Jika kita hanya diam, ikut-ikutan, kita akan mengikuti arus turun. Dan jika kita mau sungguh-sungguh hidup kudus, kita harus berjuang melawan arus, berjuang melangkah naik – di tangga yang sedang mengarah turun.
Perjuangan yang tak mudah, karena kita masih ada di dunia yang penuh dosa. Kita harus melawan godaan dari dalam (keinginan daging, ketakutan untuk menderita bagi Kristus, dsb) maupun dari luar (arus dunia yang begitu cepat dan menghanyutkan). Hanya dengan intervensi Tuhan, kita bisa hidup melawan arus, mengejar kekudusan. Pada akhirnya, panggilan untuk hidup kudus adalah sebuah anugerah. Bukan sekadar perintah, tapi sesungguhnya panggilan yang menyelamatkan. Supaya kita tidak tenggelam, terlena dalam dosa, melainkan hidup bebas di dalam keselamatan yang dari Tuhan. Keluar dari kegelapan dan hidup dalam terang Kristus. Kiranya Tuhan menolong kita untuk hidup kudus dan menemukan sukacita hidup yang sejati, hanya di dalam Dia.
(Illona Farolan)