
“Orang benar akan bersukacita karena TUHAN dan berlindung pada-Nya; semua orang yang jujur akan bermegah.”
(Mazmur 64 : 11)
Secara jujur kita harus mengakui bahwa manusia seringkali menghindar dari tanggung jawab yang merugikan. Kalau mungkin, tanggung jawab itu kita lempar kepada orang lain. Empat kata “bukan aku, tapi dia” menjadi ungkapan utama untuk berkelit dari tanggung jawab yang merugikan. Sikap ini telah dilakukan oleh Adam dan Hawa, pada waktu mereka melanggar larangan Tuhan dengan memakan buah pohon pengetahuan. Firman Tuhan, “Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?” Manusia itu menjawab: “Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.” Kemudian berfirmanlah TUHAN Allah kepada perempuan itu: “Apakah yang telah kau perbuat ini?” Jawab perempuan itu: “Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan” (Kejadian 3 : 11 – 13). Apakah cara jawab yang menghindar dari tanggung jawab sebagaimana diperlihatkan oleh Adam dan Hawa ini akan tetap melekat pada kekinian manusia?
Sampai saat ini, kejujuran dan keberanian manusia untuk bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya, nampaknya masih jauh api dari panggang. Manusia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyembunyikannya dan menghindar dari tanggung jawab kesalahannya. Karenanya lembaga kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan KPK masih diperlukan untuk penegakan hukum. Walaupun pada kenyataannya berbagai upaya melemahkan berbagai lembaga tersebut dilakukan oleh berbagai pihak.
Mengapa orang mudah mengelak bertanggung jawab atas perbuatannya? Mungkin karena rasa takut harus menanggung akibat dari perbuatannya. Mungkin pula karena rasa tidak siap menerima risiko atas keputusannya. Mungkin juga karena secara natur manusia tidak ingin disalahkan atas perbuatannya. Namun pemazmur mengajarkan kita untuk hidup jujur dan berani bertanggung jawab. Bagi pemazmur ketika manusia jujur maka hidupnya penuh sukacita. Tidak ada rasa takut karena tidak ada yang disembunyikannya. Tidak ada rasa kuatir karena tidak ada kesalahan yang dilakukannya. Tidak ada risiko yang harus dihindarinya sebab dia aman dalam lindungan Tuhan.
Sebagai umat kristiani kita mempunyai tanggung jawab untuk mengejawantahkan firman Tuhan dalam hidup keseharian kita. Sikap ksatria dan berintegritas sebagaimana telah diteladankan oleh Yesus Kristus menuntut kita untuk berusaha tanpa ragu dan berselimut kepentingan pribadi mewujud dalam tingkah langkah setiap saat dalam hidup jasmani dan rohani kita sebagai umat-Nya, sehingga yang terucap dari mulut kita bukan lagi “bukan aku, tapi dia” tapi menjadi “bukan dia, tapi aku”. Semoga Tuhan senantiasa membimbing dan memberikan kekuatan kepada setiap insan kristiani untuk mewujudnyatakan perintah dan teladan Yesus Kristus dalam setiap tarikan nafas kehidupannya.
(Basuki Arlijanto)