 
						 
						“… ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; …”
(Pengkhotbah 3 : 4)
Judul pada tulisan ini merupakan ungkapan yang berarti “anak laki-laki jangan menangis” atau dapat diartikan juga “anak laki-laki tidak boleh menangis.” Sebagai pendidik, orangtua, atau siapapun yang berperan dalam perkembangan seorang anak, seringkali saat menghadapi anak laki-laki yang sedang menangis kita mengatakan, “Kamu ‘kan laki-laki, kok cengeng’ atau “Laki-laki itu jagoan, jagoan kok nangis?” Budaya “Boys Don’t Cry” ini secara sadar telah berkembang dan menjadi semacam etika bahwa ada sesuatu yang salah atau tidak normal bila seorang laki-laki menangis.
Bila dipandang secara psikologis, menangis merupakan reaksi emosional yang wajar, karena otak manusia dilengkapi dengan sistem limbik. Sistem yang mengatur dan mengaktifkan gejolak emosi sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi oleh manusia. Apabila reaksi emosi yang seharusnya normal untuk diekspresikan kemudian ditahan, maka tekanan emosi tersebut akan dipendam dan keluar dalam bentuk lain, seperti reaksi depresif (menarik diri) atau sebaliknya, reaksi emosi yang dikeluarkan lebih mengarah kepada tindakan agresif seperti marah secara verbal atau secara fisik dalam bentuk kekerasan.
Anak-anak yang dibesarkan secara “dingin”, terutama laki-laki dengan sistem budaya tak boleh menangis, ketika dewasa akan mengalami kesulitan saat mereka menghadapi masalah emosional. Mereka sulit untuk terbuka karena tidak ingin terlihat lemah. Akibatnya mereka menggunakan cara-cara yang tidak tepat untuk menyalurkan gejolak emosi mereka. Selain itu, ketika nantinya mereka dewasa, dalam berhubungan dengan orang lain, pasangan atau anak, mereka dapat menjadi figur yang keras, sulit menoleransi kesalahan.
Di dalam Alkitab, menangis bagi seorang laki-laki tampak menjadi hal yang wajar dan tidak ditabukan. Daud menangis keras, bahkan sampai ia tidak kuat menangis lagi saat Ziklag tempatnya menetap telah habis terbakar serta anak dan istrinya ditawan oleh orang Amalek (1 Sam. 30: 4). Daud saat itu menangis bersama anak buahnya, para laki-laki petarung yang terbiasa berperang. Alkitab pun mencatat tiga peristiwa di mana Yesus menangis. Salah satunya adalah ketika Yesus menangisi kematian Lazarus (Yoh. 11: 35).
Seperti Daud dan Yesus, secemerlang dan sehebat apapun, menangis adalah reaksi emosional yang manusiawi. Menangis menandai bahwa kita adalah manusia yang memiliki hati, perasaan, dan respons terhadap peristiwa yang kita temui dalam kehidupan ini. Seperti yang digambarkan oleh penulis Pengkhotbah, menangis merupakan bagian dari hidup yang kita jalani. Selain tertawa, yang menunjukkan hidup begitu menggembirakan; saat menangis, kita menyadari hidup juga memperjumpakan kita dengan kesedihan, tragedi bahkan keharuan. Menerima hidup dalam suka dan duka adalah bagian dari hidup beriman. Menangis – selain – tertawa adalah tanda dari iman tersebut. Jadi, tak ada yang salah dengan menangis. Begitu juga tidak ada yang salah ketika seorang anak laki-laki, seorang abang, seorang bapak meneteskan air mata. Boys (and Men) Do Cry.
(Fuye Ongko)
