“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik. Jauhkanlah dirimu dari segala jenis kejahatan.”
(1 Tesalonika 5: 21 – 22)
“Itu biasa,” merupakan sebuah ungkapan yang netral dan sering kita ucapkan. Kadangkala ungkapan tersebut kita pakai untuk menenangkan diri saat kita menghadapi sesuatu yang kurang menyenangkan. Misal, saat di dalam lingkup pertemanan terjadi cekcok, untuk menenangkan diri kita bisa mengatakan, “Ini hal yang biasa. Tidak perlu terlalu cemas.”
Namun, diperlukan kehati-hatian ketika kita hendak mengucapkannya kepada orang lain. Bayangkan kita sedang mengalami PHK dan hampir putus harapan, kemudian seorang teman berkata kepada kita, “Itu biasa, saya pernah mengalami yang lebih buruk dari apa yang kau alami. Tidak perlu terlalu bersedih.” Barangkali bukannya merasa dikuatkan, tetapi kita malah merasa pengalaman kita disepelekan. Padahal ini adalah situasi yang membuat kita betul-betul merasa putus asa. Atau contoh lain di dalam lingkungan pergaulan remaja, seringkali perundungan terjadi dengan dalih, “Itu kan bercandaan biasa.” Padahal apa yang dilakukannya mempengaruhi karakter dan kesehatan mental korban yang mengalaminya. Sebenarnya, ungkapan tersebut menjadi bukanlah sesuatu yang terlarang diucapkan. Namun, kita perlu menguji setiap kali hendak mengucapkannya, apakah yang biasa buat kita adalah sesuatu yang juga biasa bagi orang lain? Atau jangan-jangan kalau kita mengucapkannya, kita sedang gagal menjadi seorang pembawa damai?
Nasihat-nasihat Paulus yang tertulis dalam perikop 1 Tesalonika 5 merupakan nasihat-nasihat bagi jemaat agar damai sejahtera Tuhan terpelihara di antara mereka (5:13). Salah satunya, Paulus mengingatkan jemaat untuk menguji segala sesuatu (5:21). Jemaat perlu peka pada apapun yang tidak berasal dari Roh Tuhan, termasuk nubuatan-nubuatan yang berasal dari kehendak manusia atau bahkan dari si jahat. Apakah yang mereka dengar adalah kehendak Tuhan? Sebaliknya, apakah yang mereka ungkapkan kepada orang lain juga berasal dari Tuhan?
Kita diajar untuk menjadi manusia yang hidup dengan kesadaran penuh akan apa yang kita pegang, yang seringkali mewujud dalam hal-hal yang kita dengar, ucap, dan lakukan. Saat kita berkomunikasi dan berelasi dengan orang lain, kita perlu senantiasa menguji apa yang kita katakan. Apakah perkataan yang kita lontarkan adalah sesuatu yang membawa damai sejahtera? Apakah berasal dari Tuhan? Atau itu merupakan penilaian-penilaian kita sebagai manusia yang malah menimbulkan sakit hati ketika disampaikan?
Bukankah kita tidak pernah tahu apa yang menjadi masa lalu setiap orang, apa yang membentuk mereka, apa yang menjadi ketakutan dan kecemasannya? Sebelum kita berucap, bertindak, bahkan memberi penilaian kepada orang lain, ingatlah Firman Tuhan yang mengingatkan kita hari ini, ujilah segala sesuatu dan jauhkan diri kita dari segala jenis kejahatan.”
(Pnt. Ayunistya D. Prawira, S.Si (Teol))