
“Kemudian dari pada itu Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya.”
(Lukas 10 : 1)
Saat Tuhan Yesus mengutus ketujuhpuluh orang murid-Nya, pertanyaan muncul di benak saya: “Mengapa harus berdua?” Bukankah sendiri lebih baik? Jangkauan dan kuantitas pekerjaan bukankah lebih banyak kalau sendiri-sendiri? Bisa ada 70 tempat dan pelayanan yang dilakukan, dibandingkan berdua-dua, paling-paling hanya 35-an tempat dan pelayanan. Kadang juga lebih efektif kerja sendirian daripada berdua. Tidak perlu repot dengan perbedaan pendapat yang kadang tidak perlu. Kadang lebih enak sendirian. Banyak kerjaan bisa dilakukan dengan cepat dan damai.
Dalam perjalanan pelayanan di jemaat sepanjang 18 tahun, saya menyadari seenak-enaknya kerja sendiri, lebih enak kerja bersama orang lain. Dari yang sederhana, saat ‘otak’ mampet kurang ide, diskusi bersama kawan memunculkan ide-ide ‘gila’ namun indah. Saat pelayanan tertantang dengan kesalahpahaman, sesama dapat menolong saya menyadari kesalahan saya dalam berpikir. Ketika rasanya saya lelah dengan kebekuan sistem dan rusaknya kepercayaan, selalu ada orang-orang yang tulus memberikan semangat untuk tidak berhenti berjuang, dan menantang saya untuk berani ‘menantang’ arus. Saat saya kehilangan arah, karena kemarahan, kelelahan batin, dan mimpi yang tak kunjung tercapai, selalu ada orang-orang yang Tuhan kirim untuk mengajak saya melihat kembali arah dan mimpi yang harus saya jalani. Bahkan saat saya merasa sendirian dan menyesali keputusan yang saya buat, selalu ada sahabat yang selalu hadir dan menangis bersama.
Saya membayangkan perjalanan pelayanan saya seperti perjalanan para murid yang diutus berdua-dua. Saat perjalanan mereka begitu berat, mereka tidak sendirian. Saat mereka bergembira atas keberhasilan pelayanan, ada seorang yang mengingatkan kegembiraan bukan hanya milik mereka tetapi milik Tuhan. Saat salah satu di antara mereka yang mulai marah, ngamuk, karena lapar; ada seorang yang mengajaknya untuk berpikir positif dan mencari akal untuk mendapatkan makanan. Saat seseorang merasa letih, tidak lagi sanggup berjalan, yang seorang lagi siap untuk menggendongnya atau menawarkan topangan tangannya untuk menguatkan. Inilah artinya seorang sahabat dalam perjalanan.
Sahabat dalam Perjalanan. Barangkali inilah yang digambarkan oleh Alkitab kita sebagai tanda kehadiran Allah bagi hidup manusia. Saat kita menerjemahkan hidup ini sebagai peziarahan, maka Allah selalu hadir dalam perjalanan itu. Dia dapat hadir melalui apa dan siapa saja yang kita jumpai dalam perjalanan. Pengutusan Yesus berdua-dua mengajak kita untuk bersyukur untuk semua orang yang kita jumpai dalam perjalanan hidup kita. Mereka adalah orang-orang yang Tuhan hadirkan; mereka adalah tanda kehadiran Tuhan.
Saat menuliskan renungan ini saya membayangkan diri saya berjalan berdua sambil terus berujar, “Untung, saya tidak sendiri. Untung, kamu ada di sisi saya sekarang…” Saya mengingat Wesley Hill berkata, “God never meant us to be purely spiritual creatures. That is why He uses material things like conversations, shared meals and trips, hugs, small kindnesses, and gifts between friends to enrich the new life He’s given us. We may think this rather crude and unspiritual. God does not: He invented human relationships. He likes friendship. He invented it.
(Pdt. Linna Gunawan)