
“Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.”
(Daniel 3 : 17 – 18)
Pengalaman putra saya yang kedua melakukan aplikasi ke SMA pilihannya cukup menarik. Dia mendaftar di dua sekolah swasta Katolik. Kami cukup yakin ia dapat diterima di sekolah pertama, tetapi untuk yang kedua, saya ekstra berdoa. Sekolah kedua dikenal ekstra ketat dalam penerimaan siswa baru dan untuk siswa bukan Katolik, dia harus dinilai cukup istimewa secara akademis agar dapat diterima. Sementara itu saya punya kecemasan lain, sebab seperti tahun-tahun sebelumnya, waktu pengumuman yang berbeda dari dua sekolah ini, seringkali membuat orangtua kehilangan sekian persen Dana Pembangunan Pendidikan (DPP) yang telah dibayarkan.
Satu hari saya membaca surat edaran dari kedua sekolah tersebut dan saya tercengang. Sekolah pertama menyampaikan pengumuman memang dua hari lebih awal dari sekolah kedua, tetapi briefing orangtua terjadi bersamaan dengan pengumuman sekolah kedua. Ini artinya kami bisa mengetahui penerimaan bersamaan hari. Ini ajaib! Tidak pernah terjadi dalam sejarah penerimaan sekolah dari kedua tersebut, orangtua siswa dapat mengetahui secara bersamaan. Saya membayangkan Tuhan bergerak di balik keputusan para administrator sekolah tersebut.
Lalu tibalah hari negosiasi. Saya beriman bahwa angka DPP dan SPP tidak akan membebani kami. Saya pikir Tuhan sudah sejauh ini memimpin, masakan Ia tidak akan mengabulkan doa kami secara tuntas. Tetapi kami kaget dan sedih ketika tim sekolah menyodorkan angka. Angka itu luar biasa besar buat kami dan jauh di atas perkiraan. Saya langsung menghitung dampaknya bagi keluarga kami sehari-hari apalagi waktu itu hanya suami saja yang bekerja. Tim sekolah bergeming dengan seluruh permohonan kami untuk berbijak hati atas kondisi kami. Dengan berat hati kami menandatangani surat pernyataan itu.
Selama dua hari saya gundah dan kehilangan waktu tidur. Apakah saya cemas bagaimana membayar? Apakah saya bingung bagaimana mengatur keuangan? Apakah saya mempertanyakan kejadian ini pada Tuhan? Semuanya ‘ya’. Lalu saya teringat akan ayat di atas yang saya baca pada hari negosiasi. Sadrakh, Mesakh dan Abednego sama sekali bertolak belakang dengan saya. Mereka meyakini kemahakuasaan Allah, bahkan sebelum yang mereka yakini terjadi. Saya membayangkan ketika rasa panas perapian mereka rasakan, mereka tidak memiliki kekuatiran kalau-kalau iman mereka tidak terwujud. Buat mereka bertiga yang penting adalah beriman bahwa Allah berkuasa, apapun tindakan Allah berikutnya tidak perlu lagi mereka atur.
Saya tertunduk malu dalam perenungan ini. Waktu itu saya terberkati oleh lagu Sovereign-nya Chris Tomlin yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berbunyi demikian: “Berdaulatlah atas sukacitaku atau dukaku, pun di dalam gelap atau rembang fajar. Semua potongan hidupku awal hingga akhir Kau genggam, aku dapat mempercayai-Mu, di dalam kasih-Mu yang tak lekang, Kau mengatur kebaikan, Tuhan. Apapun yang terjadi, aku percaya pada-Mu.”
(Novi Lasi)