
“Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu.”
(Filipi 1 : 3)
Entah mengapa film Ada Apa Dengan Cinta 2 begitu memikat saya. Mungkin karena jilid 1 film ini empat belas tahun yang lalu begitu berkesan, sehingga saya ingin mengulangi kesan itu lagi. Atau ada keinginan untuk melepas rindu dengan para pemeran film tersebut, ingin tahu bagaimana kisah mereka setelah berpisah sekian lama. Salah satu bagian yang saya sukai dari film ini, baik jilid 1 dan 2, adalah keindahan puisi-puisi cinta yang bertebaran di sepanjang film. Puisi-puisi cinta itu sekalipun kuat berbau roman, tetapi tidak lebay. Salah satu puisi Rangga untuk Cinta dalam film AADC 2 yang berkesan berjudul “Batas.” Puisi ini dibuat oleh seorang penyair muda Aan Mansyur. Beberapa penggalan puisi ini berbunyi demikian:
Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta.
Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi dipisahkan kata
begitu pula rindu. Antara pulau dan seorang petualang yang gila…
Dari bait-bait puisi ini, kita dapat menyelami kerinduan seorang kekasih kepada orang yang dicintainya. Selama ini dipisahkan oleh jarak dan waktu karena keduanya tinggal berjauhan, berbeda negara. Hanya pesawat terbang, kesempatan, dan cinta yang dapat menyatukan mereka kembali.
Rasul Paulus sungguh bersyukur dengan kondisi jemaat Filipi yang bertumbuh dalam iman bahkan giat dalam pemberitaan Injil Kristus. Mereka pun memberi diri untuk membantu pelayanan Paulus yang waktu itu berada dalam penjara. Jemaat Filipi hidup dengan penuh kasih satu sama lain. Kasih yang tulus mereka berikan kepada semua orang, termasuk kepada Paulus. Tentu saja ini sangat membanggakan Paulus, sebagai orang yang merintis jemaat Filipi. Paulus merasa rindu, ingin punya kesempatan berjumpa kembali dengan jemaat Filipi. Mengingat jemaat Filipi saja, membuat Paulus bersyukur kepada Allah.
Beberapa hari lagi “bandara dan udara” memisahkan saya dengan jemaat GKI Kayu Putih. Saya masih mengingat perkenalan pertama dengan jemaat pada tahun 1998, saat saya pertama kali datang ke jemaat ini. Saya mulai menjalani masa-masa kependetaan; saya berinteraksi dengan setiap orang, komisi dan para aktivis. Sedikit demi sedikit saya merasakan indahnya tali kasih antara saya dan jemaat. Bukan hanya itu, saya belajar bertumbuh dan belajar melayani bersama jemaat GKI Kayu Putih. Ada banyak pengalaman: berhasil-gagal; positif-negatif; jatuh-bangun; suka-duka terjalin antara jemaat dan saya. Penerimaan, keberanian menjadi diri sendiri, berani memegang prinsip menjadi bagian pembelajaran hidup yang saya jalani selama ini di GKI Kayu Putih. Hal ini membuat saya merasa menemukan “home” dan keluarga bersama jemaat.
Beberapa hari lagi “bandara dan udara” akan membuat saya rindu dengan seluruh anggota, simpatisan, rekan sepelayanan di GKI Kayu Putih. Ada perasaan berat dan sedih untuk meninggalkannya, walaupun saya tahu bahwa saatnya nanti saya akan pulang ke “home” saya. Menjelang perpisahan ini semakin terasa betapa saya dicintai dan mencintai jemaat GKI Kayu Putih. Dukungan doa dan kasih mengalir dengan tulus kepada saya melalui berbagai perjumpaan akhir, pesan-pesan singkat di media sosial, kejutan-kejutan yang dibuat khusus untuk saya. Seperti Paulus, saya ingin mengatakan untuk jemaat GKI Kayu Putih, “Aku mengucap syukur kepada Allah setiap kali mengingat kamu…” “Bandara dan udara” sekarang memisahkan kita sementara. “Bandara dan udara” saatnya nanti menyatukan kita kembali. Terima kasih untuk cinta kasih yang para sahabat berikan kepada saya. ’till we meet again.
(Pdt. Linna Gunawan)