
“Berkatalah aku kepada mereka: “Kamu lihat kemalangan yang kita alami, yakni Yerusalem telah menjadi reruntuhan dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar. Mari, kita bangun kembali tembok Yerusalem, supaya kita tidak lagi dicela.”
(Nehemia 2: 17)
Pesta Demokrasi sudah berakhir dan hasilnya pun sudah diumumkan, namun pesta demokrasi tersebut menyisakan kesedihan bagi keluarga ‘Pahlawan Demokrasi’, demikian pemerintah RI menyebut para korban petugas KPPS yang meninggal setelah menjalankan tugas mulia ini. Saya pun ikut merasakan kelelahan pada saat bertugas sebagai petugas KPPS. Ketika hasil Pemilu tersebut diumumkan, ada perasaan lega dan bangga sudah ikut bersumbangsih dalam menyukseskan pelaksanaan Pemilu di bumi pertiwi ini. Tapi sungguh di luar dugaan bahwa pengumuman hasil pesta demokrasi tersebut mengundang reaksi dari beberapa kelompok orang yang merasa tidak puas dengan hasil Pemilu. Sungguh menyedihkan ketika bangsa yang sedang berproses memperbaiki diri ini, harus menerima kenyataan bahwa demokrasi belum berjalan secara utuh di negeri ini. Masih begitu banyak kepentingan kelompok atau golongan yang berperan ketimbang kepentingan rakyat.
Peristiwa 21 – 22 Mei 2019 yang lalu merupakan bukti nyata bahwa demokrasi belum berjalan secara utuh di bumi Indonesia ini. Beberapa kelompok kepentingan yang menyerang petugas dan melakukan pengrusakan fasilitas umum, menggambarkan bahwa proses demokrasi yang seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat, telah terkoyak oleh ambisi, amarah dan kekuasaan beberapa kelompok kepentingan. Peristiwa ini mengingatkan saya akan kisah robohnya tembok Yerusalem pada masa pemerintahan Raja Nebukadnezar yang kemudian dibangun kembali oleh Nabi Nehemia, seperti tertulis dalam Nehemia 2: 17, “Berkatalah aku kepada mereka: “Kamu lihat kemalangan yang kita alami, yakni Yerusalem telah menjadi reruntuhan dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar. Mari, kita bangun kembali tembok Yerusalem, supaya kita tidak lagi dicela.”
Kesedihan Nabi Nehemia saat itu, juga sama dirasakan oleh rakyat Indonesia pada saat ini. Kedamaian yang diharapkan setelah pesta demokrasi usai serasa hanya jadi angan-angan belaka ketika ibukota ini diserang secara membabi-buta oleh para provokator. Hal ini mengakibatkan lumpuhnya perekonomian di Ibukota selama dua hari. Banyak perkantoran memilih meliburkan karyawannya karena alasan untuk menjaga keselamatan karyawannya serta disebabkan beberapa akses menuju daerah perkantoran dipenuhi oleh para demonstran. Damai yang harusnya kita rasakan bersama seolah hilang bersamaan dengan kemarahan sekelompok orang.
Biarlah peristiwa pahit dari akhir pesta demokrasi menjadi pekerjaan rumah bagi kita, sebagai bangsa, untuk terus berupaya menciptakan pesta demokrasi yang sehat. Kita pun diingatkan melalui kekisruhan yang terjadi, betapa pentingnya menjadi orang atau komunitas yang membawa damai. Biarlah setiap kita belajar meneladani hidup Kristus yang lebih dahulu mengasihi kita untuk terus membagikan cinta kasih Tuhan kepada semua orang yang kita jumpai dalam ziarah hidup kita. Kiranya kasih Kristus sendiri yang memampukan kita untuk terus menjadi pembawa damai. Soli Deo Gloria.
(Kumalawati Abadi)