
“Perintah yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada perintah lain yang lebih utama daripada kedua perintah ini.”
Markus 12: 31 (TB-2)
Apakah kasih merupakan sesuatu yang dapat dilakukan atau hanya sekadar ajaran? Mungkin banyak di antara kita yang cukup optimis bahwa kasih dapat diwujudnyatakan. Beberapa tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi dan Mother Teresa pun menunjukkan pedoman yang sama. Permasalahannya, kenyataan hidup yang ada justru tidak menunjukkan bahwa dunia ini sedang dipenuhi oleh kasih yang semestinya menghasilkan kedamaian. Bahkan, kita pun dapat dengan mudah menemukan beragam aksi dan berita di media-media sosial seperti Instagram dan Facebook yang cenderung memprovokasi orang lain untuk membenci, memfitnah dan memojokkan pribadi atau kelompok tertentu. Jika demikian, benarkah kasih hanya konsep abstrak yang tidak bisa diwujudkan?
Markus 12: 28-34 dengan sangat tegas dan lugas sedang memposisikan kasih sebagai bagian utama dalam kehidupan manusia. Artinya, sebagai umat manusia, secara khusus yang percaya kepada Yesus Kristus, kita tidak dapat melakukan tawar-menawar perihal kasih. Namun, melakukan kasih memang bukanlah perkara mudah. Apalagi, ketika kita mengetahui bahwa seseorang yang membuat luka di hati kita sedang berada dalam kondisi lemah sehingga menjadi kesempatan untuk melancarkan balas dendam kepadanya.
Makna kasih pun dapat kita definisikan ke dalam dua hakikat, yakni: kasih yang pura-pura dan kasih yang tulus. Kasih yang pura-pura merupakan tindakan yang dilandaskan oleh ketidak tulusan yang selalu mengharapkan sesuatu darinya. Manusia dengan kasih yang pura-pura selalu memberi tempat bagi ‘makhluk’ yang bernama ‘kejahatan’ untuk tinggal di dalam hatinya. Parahnya, ia seperti memiliki peliharaan kesayangan yang selalu diperhatikan, diberi makan-minum agar tumbuh besar. Alhasil, setiap orang yang hidup dengan kasih yang pura-pura cenderung dipenuhi oleh amarah, kebencian, dendam maupun siasat licik sebagai hasil dari kejahatan di dalam hatinya.
Selain itu, ada pula hakikat kasih yang tulus. Manusia dengan kasih yang tulus selalu memberi tempat bagi makhluk yang bernama kebaikan untuk tinggal di dalam hatinya. Ia selalu dengan setia memberikan perhatian, memberi makan-minum agar kebaikan itu dapat bertumbuh. Bagaimana caranya merawat kebaikan tersebut? Firman Allah! Alhasil, ketika ada orang yang melukai hatinya, ia tertolong untuk tidak hidup di dalam luka tersebut. Bahkan, ia dapat menemui ketenangan untuk menghadapinya hingga nantinya mendapatkan sukacita, seperti kesaksian Mazmur 23:2, “Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang.”
Kita perlu menjadi manusia yang menikmati kasih Allah secara aktif dengan cara melakukan kasih itu di dalam kehidupan. Sekarang, kita berada di antara dua pilihan kasih: pura-pura atau tulus. Ajaran yang diberikan oleh Tuhan Yesus Kristus adalah jelas, yaitu kita diharapkan untuk memiliki kasih tulus. Apakah hal tersebut dapat diwujudkan? Sudah tentu bisa. Sekarang, yang perlu kita lakukan adalah mengevaluasi diri dan bertanya, “Apakah saya bersedia untuk melakukan kasih?”
Gretsjanialdi Apner