“Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?” Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat. Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.”
(1 Korintus 15: 55 – 57)
Apabila kita memerhatikan Sapaan Sahabat yang berisi renungan-renungan para pengerja di Sahabat GKI Kayu Putih YouTube Channel, selama bulan Agustus dan September kita disuguhkan topik berseri tentang “Takut Menghadapi Hidup.” Memiliki rasa takut adalah manusiawi. Hanya, apakah ketakutan itu harus memenjarakan kita selamanya dari hidup ini, bahkan membuat kita tak bisa tenang dalam hidup ini?
Dalam rangkaian Masa Raya Paskah ada satu hari yang disebut Sabtu Sunyi (Holy Saturday). Namun, entah mengapa hari ini tidak diberi perhatian khusus oleh gereja Protestan. Mungkin karena catatan Alkitab tak menceritakan apa-apa tentang hari Sabtu sebelum Kristus bangkit. Sulit bagi para penulis Injil untuk mengisahkan apa yang terjadi pada Yesus saat Dia berada dalam kubur, dalam kematian-Nya.
Sebenarnya, di sinilah menariknya Sabtu Sunyi. Saat para penulis Alkitab tak mampu menceritakan apa yang terjadi saat Yesus ada di dalam kematian, di sinilah kita diberi ruang untuk memaknai kematian Kristus secara personal. Ada ruang private yang diberikan Allah untuk menerjemahkan kematian-Nya bagi hidup kita secara personal maupun komunal. Ruang private itu adalah imajinasi, yang bukan khayalan, para pembaca Alkitab untuk menghubungkan kematian Kristus dengan perjalanan hidup kita sendiri. Sabtu Sunyi tak bisa kita lewati begitu saja; sebab tanpanya tak mungkin ada kebangkitan. Yesus memang harus mengalami kematian dan menjalani Sabtu Sunyi itu. Ruang imajinasi ini dipakai oleh Paulus, misalnya, mengatakan bahwa kebangkitan-Nya menjadi tanda kemenangan Kristus atas maut (1 Kor. 15: 54-55).
Lalu, ruang imajinasi ini dilanjutkan oleh para teolog sejak abad kedua, seperti Tertulianus, Hipolitus, Origenes, Ambrosius bahkan Marcion. Mereka membicarakan soal Kristus, seperti manusia umumnya, dalam tiga hari kematian-Nya, Dia masuk dalam ‘hadesh’ atau dunia orang mati; di dunia ini, Kristus berperang mengalahkan iblis. Ini pun dibunyikan dalam Pengakuan Iman Rasuli yang dipakai dalam ibadah-ibadah Kristen hingga saat ini. Dengan kata lain, para teolog ingin mengatakan bahwa Allah hadir bahkan di ruang sunyi yang harus dijalani manusia, yang sedang berjuang dengan penderitaan dan rasa takut. Kita tak dibiarkan sendirian di tengah kegelapan dan kesunyian.
Sejak pandemi Covid-19 terjadi, kita menyaksikan, bahkan mengalami berjalan dalam gelap. Entah karena sakit, kehilangan orang yang dicintai, ketidakpastian masa depan, dan sebagainya. Rasa takut menjadi bagian dari hidup kita setiap hari. Biarlah kita merasakan kehadiran-Nya dalam ruang sunyi kita, sebab Dia telah melewatinya dan tetap ada bersama kita. Rasa takut tak akan menjadi senjata yang membunuh hidup kita. Immanuel!
(Pdt. Linna Gunawan)