
“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”
(Filipi 2: 5 – 7)
Belum lama ini, melalui media sosial, saya mendapat sebuah foto yang menarik. Salah seorang konglomerat Indonesia, sedang duduk di sebuah kios makan kecil. Terlihat di foto tersebut, pakaiannya pun tampak sederhana, dan makanan yang ia nikmati bukan makanan mewah. Foto sederhana ini kemudian dibandingkan dengan dengan fenomena lain yang akhir-akhir ini juga kita lihat di media, yaitu gaya hidup anak muda, yang disebut crazy rich. Gaya hidup ini dikenal dengan istilah flexing. Flexing merujuk pada orang yang suka pamer kekayaan, bahkan rela berbohong, mengaku kaya dan punya banyak harta, demi diterima dalam pergaulan, atau sekadar demi konten dan promosi di media sosial. Karena itu, beberapa sikap yang tergolong langka ditunjukkan oleh beberapa orang kaya saat mereka menurunkan standar hidupnya, dan memilih untuk hidup sederhana layaknya orang kebanyakan. Mereka menggunakan kebebasan mereka untuk memilih hidup sederhana dibandingkan pamer kekayaan.
Bacaan kita hari ini mengingatkan kita akan kerendahan hati Allah yang Maha Kuasa melalui kehadiran Kristus. Kristus, yang adalah Allah sendiri, di dalam kuasa-Nya, sesungguhnya memiliki kebebasan untuk melakukan segalanya. Ia yang Maha Besar, duduk dalam tahta surgawi, bahkan dunia dan segala isinya ada di dalam tangan-Nya. Namun karena cinta-Nya kepada kita, Ia telah memilih untuk meninggalkan takhta-Nya, segala kebebasan-Nya sebagai Allah, dan turun ke dunia, menjadi hamba dan manusia, sama seperti kita. Ia yang adalah 100% Allah, namun juga menjadi 100% manusia. Dari Allah yang tak terbatas, menjadi manusia yang sepenuhnya terbatas. Merasakan lapar, sedih, luka dan penderitaan. Bahkan di dalam penderitaan-Nya menuju Bukit Golgota, Ia mampu memanggil bala tentara sorga untuk menjungkirbalikan musuh. Namun karena cinta-Nya, Ia taat sampai mati di kayu salib, menanggung penderitaan yang begitu besar, agar kita yang telah mati karena dosa, beroleh hidup karena kematian-Nya.
Kita masih merayakan Paskah yang mengingatkan kita akan kematian dan kebangkitan-Nya bagi kita. Kiranya kita juga diingatkan akan kebesaran cinta Tuhan, ketika Ia, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” karena cinta-Nya kepada kita. Kiranya kita terus meneladani cinta dan teladan kasih Kristus di tengah kehidupan dunia. Kiranya Tuhan memberkati kita.
(Illona Farolan)