
“Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
(Matius 28: 20b)
Kata “new normal” menjadi sebuah term yang sudah menempel di dalam kehidupan kita sekarang ini. New normal adalah normal baru yang berbeda dengan normal sebelumnya. Memakai masker, menggunakan dan selalu membawa hand sanitizer di tas, menjaga jarak, rajin cuci tangan sudah menjadi kebiasaan saya selama pandemi Covid-19 mulai masuk ke Jakarta. Karena hal ini sudah dijalankan selama lebih dari 6 bulan, saya pun mulai lupa dengan normal sebelumnya. Kemampuan beradaptasi ini tidaklah instan. Ketika di awal pandemi dan PSBB berlangsung, saya sangat kesal karena harus menggunakan masker yang sangat tidak nyaman, karena membuat pernafasan terganggu. Saya juga tidak suka menggunakan hand sanitizer sesering itu karena membuat kulit tangan menjadi sangat kering. Sebagai staf yang bekerja di Finance Department dan perusahaan mewajibkan untuk WFH (Work-from-Home), saya merasa kecepatan dan efisiensi pekerjaan tim sangat terganggu dan terhambat; apalagi ditambah dengan peraturan-peraturan pajak dari pemerintah yang berganti-ganti. Mungkin untuk beberapa orang lain kondisi tersebut baik-baik saja, tapi untuk saya yang merupakan seorang “steadiness” hal-hal tersebut sangat mengusik dan menyusahkan. Bukan berarti saya tidak menyukai perubahan, saya jujur bahwa kondisi tersebut seolah membuat saya seperti tidak diberi kesempatan untuk mempelajari dan mengerti perubahan tersebut.
Perubahan itu memang tidak nyaman, namun itulah salah satu yang konstan di dalam kehidupan. Ketika para murid yang merasa ditinggalkan ketika Yesus mati di kayu salib, kemudian sewaktu Yesus naik ke surga, perubahan yang sangat mendadak. Dari yang biasanya mereka bersama-sama dengan Yesus sehari-hari mengajar, melakukan perjalanan dari kota ke kota, namun setelah penangkapan dan kematian Yesus, hidup mereka pada kondisi new normal. Sesungguhnya, di satu bagian, perubahan menunjukkan pertumbuhan.
Dari yang sebelumnya para murid berketergantungan dengan Yesus dalam bentuk fisik, dengan perubahan tersebut mereka menjadi mandiri; iman mereka pun makin bertumbuh. Seperti metamorfosis, sebuah telur akan berubah menjadi ulat / larva yang akan berubah menjadi kepompong, dan berubah menjadi kupu-kupu. Di masing-masing proses perubahan tersebut, si ulat harus mampu beradaptasi untuk menjadi kupu-kupu yang cantik.
Untuk dapat bertumbuh menjadi lebih baik, kita pun harus bisa menerima, beradaptasi dan merespons secara positif dengan perubahan yang ada. Memang hal ini membuat kita merasa tidak nyaman, tapi tetap harus dijalankan. Perubahan memang tidak dapat kita hindari, tapi satu hal yang pasti bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita dalam situasi apapun. Ketika para murid harus mulai menerima new normal, mereka tidak pernah berhenti berdoa dan terus berpegang pada janji Yesus bahwa Ia akan mengirimkan Roh Kudus untuk menyertai mereka. Mari, sekarang pun kita berpeganglah pada janji-janji-Nya. Pengharapan membuat kita untuk terus berjuang. Kiranya Tuhan memberkati.
(Citra Surya)