Warta Minggu Ini
OTORITAS MENDIDIK ANAK

“Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.”

(Efesus 6: 4)

Bulan September yang baru saja berlalu merupakan peringatan Bulan Keluarga bagi gereja kita yang selalu mengingatkan kita betapa berharganya anugerah Allah melalui kehidupan keluarga. Beberapa waktu lalu, untuk kesekian kalinya, saya mendengar pembahasan tentang pentingnya orangtua berhati-hati dalam meng-gunakan otoritasnya dalam pola asuh anak. Terlalu otoriter terhadap anak hanya akan menimbulkan kerenggangan hubungan dan sakit hati pada anak.

Tentunya kita semua setuju bahwa setiap orangtua selalu menginginkan dan mengupayakan yang terbaik untuk anak, termasuk dalam hal pendidikan. Namun, mengindoktrinasi anak agar mendapat nilai sempurna dalam pelajaran sekolah dan menghukumnya apabila tidak tercapai, merupakan cara yang kurang tepat meski diiringi niat baik untuk anak. Sebaliknya, membiarkan anak membuat target pendidikan sendiri tanpa memberi arahan, juga bukan solusi yang baik. Apa yang sebaiknya kita lakukan sebagai orangtua?

Rasul Paulus kepada jemaat Efesus memberi nasihat kepada para orangtua. Ada satu hal mendasar pada ayat tersebut yang dapat saya garisbawahi. Para orangtua diingatkan untuk mendidik dengan ajaran yang berasal dari Tuhan. Hal ini berarti mari belajar dari Allah, Sang Pemilik. Saya pikir, awalnya, mudah mendidik anak sebab telah banyak panduannya. Namun, kenyataannya, pengalaman menjadi orangtua tidak mudah bagi saya. Saya ingat pernah terjadi ketegangan antara saya dan anak pertama saya. Namun, ayat tersebut membuat saya merenung dan bertanya: apa yang salah dengan relasi saya dan si sulung?

Suatu malam, saya berdoa dengan memegang kepala si sulung: “Ya Allah, saya tahu saya bukan ibu yang ideal. Tolong selamatkan anak saya, katakan pada saya apa yang harus saya lakukan?” Esok harinya saat sarapan pagi, si sulung mulai berulah. Sebelum saya sempat marah, saya mendengar Tuhan menyapa: “Diamlah dan dengarkan dia.” Saya diam beberapa waktu mendengar si sulung berbicara. Rupanya, jenis sarapan yang tersaji terlalu “berat” baginya. Saat saya masih diam, anak saya mulai memegang tangan saya dan berkata: “Ibu bicaralah. Jangan diam saja.” Akhirnya saya sadar, intinya adalah saya diajak untuk belajar dari Tuhan tentang bagaimana mendengarkan dan berkomunikasi dengan anak.

Dengan kejadian tersebut saya mengubah pola asuh yang saya lakukan. Saya tetap menggunakan otoritas sebagai orangtua yang mengarahkan anak untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik. Saya pun membuat aturan-aturan yang harus dipatuhi. Namun saya mengomunikasikan alasan, menjelaskan tujuan dan visi yang sebaiknya dicapai. Saya juga berjanji kepada anak untuk tidak cepat marah apabila mereka menunjukkan nilai ulangan yang buruk sekalipun, tapi mendiskusikannya bersama mereka untuk memperbaikinya. Saya pun membuat aturan jam belajar bagi semua anggota keluarga, yang berlaku bukan hanya untuk anak tetapi juga orangtua.

Sekali lagi, pengalaman menjadi orangtua tidaklah mudah. Namun, kita dapat melakukannya dengan pertolongan Tuhan. Kiranya Tuhan memberkati kita.

(Yudi Ariyanti)

AKU CINTA INDONESIA
“Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”...