
“Semoga semakin banyak jiwa-jiwa yang diselamatkan ya.”
“Sebagai orang Kristen kalian harus bisa membawa jiwa-jiwa baru kepada Kristus.”
”Puji Tuhan, gereja yang saya layani bertumbuh dengan adanya 500 jiwa lebih yang bersekutu.”
Pengantar
Tiga pernyataan di atas, merupakan pernyataan yang pernah saya dengar, diucapkan oleh orang Kristen dalam suatu kesempatan. Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan kata “jiwa” di atas? Apakah pernyataan-pernyataan tersebut dimaksudkan sebagai majas (gaya bahasa) pars pro toto, yakni penggunaan kata yang menunjuk sebagian (d.h.i: jiwa) untuk menunjuk pada keseluruhan (d.h.i: diri manusia)? Ataukah, dalam hidup ini, urusan tentang ”jiwa”-lah (atau roh) yang terpenting, sebab yang Allah selamatkan atau pentingkan adalah jiwa-jiwa (atau roh) manusia, bukan yang lain?
Di satu sisi, pernyataan-pernyataan di atas sesungguhnya bisa dilihat sebagai sebuah gaya bahasa, di mana kata ”jiwa” mau menunjuk pada keseluruhan diri manusia. Masak sih Allah hanya menaruh perhatian pada keselamatan jiwa saja? Di sisi lain, saya mengira bahwa pemahaman akan ”jiwa”-lah (atau roh) yang terpenting menghinggapi benak orang-orang Kristen yang mengucapkan pernyataan tersebut. Kesimpulan ini saya dapat, sebab dalam percakapan yang berlangsung tersebut, saya merasakan adanya nuansa tersebut. Misalnya ketika dalam kesempatan itu begitu ditekankan pentingnya penginjilan agar ada jiwa-jiwa baru yang diselamatkan.
Umumnya, ketika (sebagian) orang Kristen lebih menaruh perhatian besar pada hal yang terkait dengan jiwa (atau rohani), akan menganggap kegiatan-kegiatan tertentu, seperti: mengikuti persekutuan doa, pemahaman Alkitab, kelas pembinaan, kelas penginjilan, dan kegiatan lain yang sejenis, sebagai kegiatan yang lebih penting dari yang lainnya. Ayat Alkitab yang kerap dipakai untuk menganggap kegiatan-kegiatan tersebut sebagai yang lebih penting adalah ”Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat. 6:33). Tanpa bermaksud menafikan kebenaran ayat tersebut, saya tidak setuju dengan pemahaman dualistis yang menganggap yang satu (jiwa atau roh) jauh lebih penting daripada yang lainnya.
Ada dua keberatan utama terhadap pemahaman dualistis tersebut, yakni:
Menganggap urusan tentang jiwa sebagai yang terpenting, bisa membuat orientasi manusia mengarah melulu pada kehidupan nanti dan di sana (hidup kekal di sorga). Artinya yang dipentingkan adalah hal-hal atau kegiatan yang bisa menggiring manusia meraih keselamatan kekal. Padahal karya keselamatan yang Allah kerjakan juga mencakup aspek kini dan di sini (dalam hidup yang sekarang dijalani). Itulah yang Yesus kerjakan juga selama hidup-Nya: memberi makan orang banyak, menyembuhkan orang sakit, bercakap-cakap dengan mereka yang termarjinalkan secara sosial dsb..
Menganggap urusan tentang jiwa sebagai yang terpenting, bisa membuat manusia merasa tidak perlu memerhatikan dengan sungguh unsur diri manusia yang lainnya, seperti: tubuh. Padahal tubuh merupakan bagian diri manusia yang dengannya Allah dirasakan, dikenali, dan lalu dimuliakan. Atau, kalaupun perhatian terhadap tubuh sudah dilakukan, pertanyaannya adalah, ”Sudahkah ia dikaitkan dengan panggilan dan peran spiritual dari tubuh?”
Panggilan Memuliakan Allah
Dalam Alkitab, memang terdapat suatu ajakan atau panggilan untuk memuji atau memuliakan Allah dengan jiwa kita. Dalam Mazmur misalnya, terutama pada pasal 103 dan 104, ada sejumlah ayat yang menyatakan, ”Pujilah TUHAN, hai jiwaku!” Sementara dalam Perjanjian Baru, panggilan untuk memuliakan Tuhan nampak dalam Magnificat (nyanyian pujian Maria) sebagaimana tercantum di Luk. 1:46, ketika dikatakan, ”Jiwaku memuliakan Tuhan”.
Pertanyaannya adalah, ”Apakah dengan adanya panggilan dan ajakan yang seperti itu, membuat perhatian terhadap jiwa menjadi lebih penting atau unggul daripada yang lainnya?” Jawabannya adalah tidak. Mengapa? Sebab pada bagian Alkitab lainnya, panggilan untuk memuliakan Allah itu dimiliki juga oleh tubuh, yakni 1 Kor. 6:20b yang berbunyi, ”Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” Ada juga praktik memuliakan Allah dengan bagian tubuh lainnya, yakni dalam Mat. 15:8a ketika dikatakan, “bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya…”. Memang secara teknis, memuliakan Allah itu dilakukan melalui bibir (mulut) kita. Tentu saja, apa yang keluar dari bibir itu seyogianya meluap dari hati (bnd. Mat. 15:8).
Dari uraian di atas, nampaklah bahwa panggilan untuk memuliakan Allah itu mencakup keseluruhan diri kita. Bukan hanya jiwa yang penting dalam memuliakan Dia, sebab tubuh pun memiliki panggilan yang sama. Itu artinya, perhatian hidup kita, tidak boleh melulu ditujukan pada apa-apa yang berkaitan dengan jiwa, melainkan juga terhadap keseluruhan unsur diri kita.
Dalam tulisan kali ini, sebagai sebuah fokus – sambil tetap menyadari pentingnya unsur diri manusia lainnya, maka saya memilih untuk memberi perhatian khusus pada panggilan dan upaya apa saja yang bisa kita lakukan untuk memuliakan Allah di dalam dan melalui tubuh kita.
Perhatian pada Tubuh
Pada masa kini, perhatian pada tubuh mengalami peningkatan pesat, misalnya lewat munculnya beberapa rumah makan yang menyajikan menu makanan sehat. Fenomena ini tentu seiring sejalan dengan kesadaran sejumlah orang akan pentingnya mengonsumsi makanan yang sehat. Ada juga sejumlah pusat kebugaran yang menawarkan fasilitas dan program yang menarik untuk body building ataupun sekadar nge-gym. Sesuatu yang menjadi bagian gaya hidup masyarakat ibu kota. Selain itu, di sekitar kita, bermunculan juga berbagai klinik kecantikan yang menjamur di berbagai sudut ibu kota. Pada kenyataannya, konsumen klinik kecantikan tersebut bukan hanya perempuan, tetapi juga laki-laki.
Dalam praktiknya, bukan hanya perawatan tubuh saja yang dilakukan. Namun juga perbaikan dan perubahan bentuk tubuh, seperti operasi plastik atas bagian-bagian tertentu tubuh, terutama wajah. Krisdayanti (biasa disingkat KD), salah satu diva pop Indonesia, dalam buku yang ditulisnya, My Life My Secret, mengungkapkan bahwa ia pernah menjalani operasi plastik untuk mengubah bagian hidung dan dada selain wajahnya. KD pun menjalani sedot lemak pada bagian perutnya karena ia merasa tidak percaya diri dengan bentuk tubuhnya.
B. Hari Juliawan, mengutip sebuah laporan yang dimuat dalam majalah Times, 5 Agustus 2002, bahwa pada tahun 2001, satu juta orang berbondong-bondong mendatangi klinik operasi plastik di Taiwan, karena mereka ingin tampil lebih cantik dan gagah. Di Korea, diduga satu dari sepuluh orang dewasa pernah dioperasi untuk tujuan kosmetik. Sementara itu di Jakarta saja ditengarai setiap minggunya terjadi 400 operasi semacam itu.[1] Bukan tidak mungkin angka tersebut makin meningkat pada tahun-tahun selanjutnya.
Bicara tentang operasi plastik, tentu tidak bisa digeneralisir. Ada orang yang melakukan operasi plastik dalam rangka pemulihan bentuk wajah pasca kecelakaan. Namun, ada juga orang yang melakukannya semata-mata demi tampil lebih cantik dan menarik. Mengenai hal yang terakhir ini, perlu diajukan pertanyaan kritis, “Apa tujuan utama seseorang merawat tubuhnya tersebut? Agar dirinya lebih menarik? Siapa yang menentukan seseorang menarik atau tidak: diri sendiri atau orang lain? Lalu, siapa yang dimuliakan dengan tindakan perawatan diri (baca: operasi plastik) tersebut: diri sendiri – yang sudah mengalami perubahan bentuk? Adakah Allah dimuliakan melalui tindakan tersebut?”
Perlu juga dicermati bahwa upaya seseorang merawat, bahkan mengubah bentuk tubuh, terkait erat dengan citra tubuh ideal, di mana iklan nampaknya menjadi ujung tombak pencitraan yang demikian. Di satu sisi, iklan merupakan unsur pelengkap sistem industrialisasi dan kapitalisme, untuk memperkenalkan dan mempromosikan suatu produk. Dalam perkembangannya, iklan tidak hanya sekadar memperkenalkan, tapi juga memunculkan kekuatan yang membujuk nafsu dan hasrat konsumen terhadap produk barang maupun jasa melalui serangkaian asosiasi-asosiasi ideologi citra yang dibangunnya.[2] Di sisi lain, iklan perlu dikritisi sebab ia ternyata juga menghadirkan kode-kode kultural atau budaya yang bersinggungan atau malah bertentangan dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip atau ideologi tertentu dalam upayanya membangun ideologi citra atas produk yang ditawarkannya. Misalnya: ideologi gender.
Hal yang paling kentara tentang hal ini adalah ketika tubuh perempuan dijadikan komoditas. Ada berbagai iklan, yang menampilkan tubuh perempuan – dengan kualifikasi tertentu (biasanya cantik, tinggi, berambut panjang dan berkulit putih), di mana produk yang diiklankan sebenarnya tidak ada kaitan langsung dengan tubuh perempuan, misalnya: mobil, sepeda motor, hand phone, permen karet dsb.. Ini pertanda bahwa nilai tukar tubuh perempuan begitu tinggi, sehingga mereka lebih disukai sebagai model iklan. Lewat iklan seperti inilah, citra tubuh ideal tentang seseorang itu muncul. Di sini perlu dicatat, bahwa citra tubuh ideal itu bukan hanya tentang perempuan, tetapi juga tentang laki-laki (misalnya: iklan produk susu pembentuk tubuh laki-laki).
Nampak dari uraian singkat di atas bahwa perhatian terhadap tubuh semakin meningkat dewasa ini, terlepas dari apa yang semula menjadi motivasinya. Namun kembali perlu dicermati bahwa perhatian tersebut perlu juga dikaitkan dengan panggilan dan peran spiritual dari tubuh. Sebab sesungguhnya apa yang dialami dan dilakukan dengan tubuh terkait erat dengan panggilan dan peran spiritual tubuh.
Peran dan Panggilan Spiritual Tubuh
“Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair” (Mazmur 63:2).
Kutipan ayat di atas menunjukkan secara sederhana bahwa tubuh pun memiliki panggilan dan peran spiritual yang tidak kecil. Perlu diketahui di sini bahwa kata ‘tubuh’ yang dipakai dalam ayat ini adalah basar yang lebih tepat diterjemahkan sebagai ‘daging’. Dalam Alkitab Perjanjian Lama, terdapat 80 bagian tubuh yang disebutkan, namun tidak ada satu kata Ibrani pun yang merujuk pada keseluruhan tubuh. Kata basar itulah yang paling dekat maknanya dengan tubuh.
Mengapa demikian? Alasan utama mengapa orang Ibrani tidak memiliki kata yang spesifik untuk tubuh adalah bahwa bagi mereka manusia bukanlah suatu jiwa yang terpenjara atau terinkarnasi, melainkan suatu tubuh yang hidup (an animated body). Manusia tidak memiliki suatu tubuh, melainkan adalah suatu tubuh. Jadi, orang Ibrani memandang manusia sebagai satu kesatuan antara yang fisik dan jiwani (psycho-physical). Tubuh dapat dikatakan menjadi jiwa dalam bentuk di sebelah luarnya.
Sebagaimana kata basar menunjuk keseluruhan makhluk hidup, kata nephesh (jiwa) dan ruach (roh) – yang dapat dipakai dalam beragam makna (nephesh = tenggorokan, leher, perut, makhluk hidup; ruach = angin, nafas, kekuatan yang sangat penting) – juga dapat menunjuk pada keseluruhan makhluk hidup dan tidak menunjuk pada sesuatu yang nonmaterial, zat diri yang terpisah dari tubuh.[3] Karena itu, ketika pemazmur mengatakan, ”Jiwaku haus kepada-Mu”, maka itu berarti bukan hanya jiwa si pemazmur saja yang merasakan haus itu, tapi keseluruhan dirinya.
Pemahaman tentang kesatuan diri manusia, juga nampak dalam narasi Penciptaan. Manusia diciptakan oleh Allah sebagai kesatuan fisik-jiwani dan baik adanya (Kej. 1:26-31). Bahkan, jika ”teks kedua” tentang Penciptaan dilihat, yakni Kej. 2:7, kita dapat melihat adanya kesatuan tubuh dan jiwa (nafas hidup). Tubuh bukanlah sesuatu yang buruk, sebab Allahlah yang membentuk ’tubuh’ manusia dari debu tanah. Pun begitu dengan jiwa manusia, Allahlah yang menghembuskan nafas kehidupan kepadanya. Jadi, kita melihat bahwa baik tubuh maupun jiwa adalah baik.
Sementara dalam Perjanjian Baru, kita pun dapat menemukan pemahaman akan kesatuan diri manusia. Pertama, kita akan melihat catatan Injil. Injil-injil memiliki sikap yang positif terhadap tubuh. Dalam Injil Yohanes, Yesus digambarkan sebagai Firman yang menjadi daging (Yoh. 1:14). Di satu sisi, hal ini sebenarnya sejalan dengan pemahaman orang Yahudi tentang kesatuan fisik-jiwani manusia. Di sisi lain, dengan fakta bahwa Firman (sesuatu yang baik) menjadi daging, maka ini menjadi pembeda yang tegas dengan alam pikir Yunani yang didominasi pemikiran dikotomis antara tubuh dan jiwa, di mana ada yang menganggap tubuh (materi yang jahat) sebagai penjara jiwa (materi yang baik).
Lalu, dalam narasi-narasi Injil, kita dapat melihat sikap positif tersebut lewat tindakan
Yesus terhadap tubuh manusia, seperti dalam kisah Yesus memulihkan seorang perempuan yang sakit pendarahan sehingga kesehatan tubuhnya kembali baik (Mrk. 5:25-29) dan dalam kisah Yesus menyembuhkan telinga hamba Imam Besar yang putus telinga kanannya (Luk. 22:50-51). Ada juga berbagai kisah bagaimana Yesus memelihara tubuh lewat tindakan makan (mis.: Yesus makan dengan pemungut cukai dan orang-orang berdosa [Mat. 9:10] dan Yesus memberi makan 5000 orang [Luk. 9:10-17]) atau beristirahat (Mat. 8:24; Mrk. 6:31).
Selain itu, sikap positif terhadap tubuh juga nampak dalam pengajaran Yesus, misalnya dalam bagian kisah Kotbah di Bukit, Yesus mengatakan, ”Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” (Mat. 6:25). Ada dua kata Yunani yang dipakai di sini, yakni sōma (tubuh) dan psukhē (dalam ayat ini diterjemahkan sebagai hidup, namun bisa juga diartikan sebagai jiwa atau diri [self]). Menurut saya di sini Yesus tidak hendak memisahkan antara sōma dan psukhē, sebab Yesus hidup dalam alam pikir Yahudi yang memahami kesatuan fisik-jiwani manusia. Lalu, apa makna pengajaran Yesus di sini? Kekuatiran yang seperti apakah yang sedang dibicarakan Yesus di sini?
Injil Matius, ditujukan untuk suatu komunitas campuran yang terdiri dari orang Kristen Yahudi dan orang Kristen Yunani. Mereka nampaknya tinggal di daerah perkotaan, kemungkinan di Antiokhia, Syria (perhatikan penggunaan kata ”kota” tidak kurang dua puluh enam kali, sementara kata ”kampung” hanya empat kali dalam Injil ini). Mereka adalah orang-orang berada. Jadi, nampak bahwa pengajaran Yesus dalam Kotbah di Bukit itu tertuju kepada orang-orang kaya, apalagi perikop yang mendahului ”Hal Kekuatiran” (Mat. 6:25-34) didahului oleh ajaran Yesus tentang ”Hal Mengumpulkan Harta” (Mat. 6:19-24). Lalu, jika memang begitu, mengapa orang-orang kaya digambarkan tengah menguatirkan apa yang akan mereka makan, minum atau pakai? Bukankah orang kaya memiliki semuanya itu atau minimal mudah mendapatkannya? Saya menduga hal ini ada kaitannya dengan budaya populer yang pada waktu itu berlaku di dunia yang dipengaruhi Helenisme atau budaya Yunani, apalagi para ahli menduga kuat bahwa penulis Injil Matius adalah seorang Yahudi Helenis Kristen. Ada kemungkinan komunitas Matius berhadapan dengan pengaruh filsafat Cyrenaik yang menekankan kesenangan tubuh (di mana salah satu cara pengungkapannya adalah lewat makan dan minum). Jadi, kekuatiran di sini tidak terkait dengan kekurangan, melainkan kebingungan di tengah kelimpahan dan pengaruh gaya hidup sekelompok masyarakat Helenis yang mengutamakan kesenangan tubuh. Di sinilah kita dapat mengerti apa maksud pengajaran ”hidup lebih penting daripada makanan dan tubuh lebih penting daripada pakaian”.
Kedua, kita perlu juga mempertimbangkan pemikiran Paulus – penulis sebagian besar surat-surat rasuli dalam Perjanjian Baru. Paulus menggunakan dua kata Yunani untuk mengungkapkan keberadaan manusia, yakni sarx (biasa diterjemahkan sebagai ”daging”) misalnya dalam Rm. 7:5 dan 8:3-13 dan sōma (”tubuh”) misalnya dalam Rm. 6:12-13 dan 1 Kor. 6:13. Kata sarx dipakai untuk menunjukkan area dari keberadaan manusia yang tidak berorientasi Allah (is not God-oriented), yang tidak memiliki tujuan melakukan kehendak Allah. Itulah sebabnya, dalam surat-surat rasuli, muncul frasa ”keinginan daging”, dalam nuansa yang negatif (mis.: Rm. 8:6).
Sementara kata sōma dipakai Paulus untuk mengungkapkan dimensi fisik dari eksistensi manusia dalam kepenuhannya sebagai sesuatu yang diciptakan untuk kemuliaan Allah (Lih. 1 Kor. 6:13, 20). Tubuh juga dijelaskan sebagai anggota Kristus (1 Kor. 6:15) dan bait Roh Kudus (1 Kor. 6:19). Dari pemahaman tentang sōma tersebut, tidak heran jika Paulus menasihatkan jemaat Roma untuk ”mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah” (Rm. 12:1), atau ajakannya kepada jemaat Korintus yang digoda oleh bahaya percabulan, untuk memuliakan Allah dengan tubuh (1 Kor. 6:20).
Selain percabulan, ada juga masalah lain tentang tubuh yakni persoalan terkait makanan di sejumlah jemaat, yakni: Roma, Korintus dan Filipi. Masalah tersebut nampak lewat kata ”perut”, yaitu: ”melayani perut mereka” (Rm. 16:18); ”makanan adalah untuk perut dan perut untuk makanan” (1 Kor. 6:13); dan ”Tuhan mereka ialah perut mereka” (Flp. 3:19). Selain itu, pergumulan sejenis juga muncul dalam Surat Titus, di mana orang Kreta disebut sebagai pelahap (Tit. 1:12). Jadi, rupa-rupanya, orang-orang berbudaya Yunani-Romawi (yang tinggal di kota/daerah tersebut) memiliki kebiasaan tertentu terkait makanan, sehingga ada yang begitu lahapnya terhadap makanan, sehingga perilaku yang seperti itu menunjukkan bahwa mereka digerakkan oleh perut mereka (menjadikan perut mereka sebagai Tuhannya).[4] Ada juga beberapa ayat yang secara tidak langsung menggambarkan kebiasaan orang-orang di Korintus, tentang makan dan minum (1 Kor. 10:7; 15:32). Nampaknya, mereka terpengaruh oleh filsafat Cyrenaik, yang perilakunya kita kenal dengan sebutan hedonisme
Dalam tulisan Paulus lainnya, misalnya dalam kisah tentang pembelaan Paulus mengenai kerasulannya (1 Kor. 9:1-27), ia menggunakan ilustrasi dari dunia Yunani-Romawi tentang olahraga, untuk menjelaskan bagaimana ia melatih tubuhnya dan menguasai seluruhnya agar sesudah ia memberitakan Injil kepada orang lain, ia sendiri tidak ditolak (1 Kor. 9:27). Pada bagian lain, Paulus juga menggunakan istilah dari dunia olahraga, yakni dalam Flp. 3:11 (”berlari-lari kepada tujuan”). Apa yang dimaksud Paulus di sini, menurut saya, terkait erat dengan nasihat Paulus untuk memuliakan Allah dengan tubuh (1 Kor. 6:20). Nampak bahwa istilah ”melatih tubuh”, ”berlari-lari” bahkan ”memuliakan Allah dengan tubuh” di sini lebih bersifat metaforis untuk menunjuk pada perilaku dan kehidupan yang dijaga sesuai kehendak Allah.
Penutup
Dari uraian singkat di atas, menjadi jelas bahwa tubuh memiliki peran dan panggilan spiritual yang penting, sebab dengan dan melalui tubuhlah kita dapat memuliakan Tuhan. Karenanya, sebagai orang Kristen kita perlu memberi perhatian pada tubuh, bukan sekadar bentuk luarnya saja (fisik), tetapi pada apa yang dilakukan di dalam dan melalui tubuh.
Berikut beberapa hal praktis yang bisa dilakukan, agar peran dan panggilan spiritual dari tubuh menjadi nyata:
Memelihara kesehatan tubuh melalui pola hidup yang benar (yakni: pola makan, gaya hidup, olahraga dsb.). Di sini kita perlu mengingat apa yang dikatakan dalam 1 Kor. 10:31: “Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” Nah, agar pola hidup kita memuliakan Allah, maka kita perlu memanfaatkan berbagai temuan dan arahan dari dunia kesehatan. Bagaimanapun, tubuh adalah modal kita dalam berkarya. Tubuh yang sakit menghambat karya – dan tentu ibadah kita kepada Tuhan.
Mengingat dalam bekerja, kita menggunakan tubuh dan tubuh ternyata memiliki peran dan panggilan spiritual, maka kita perlu menghayati bahwa apapun yang kita kerjakan, haruslah diarahkan untuk kemuliaan Allah.
Melalui tubuh, kita sebenarnya diingatkan juga tentang pentingnya mengasihi orang lain. Sebagaimana suatu anggota tubuh yang sakit, turut dirasakan oleh anggota tubuh lainnya (bnd. 1 Kor. 12:26), dan kita tentunya berusaha mengatasi anggota tubuh yang sakit itu, maka penderitaan sesama kita, sudah seharusnya turut menggerakkan kepedulian kita.
Bagi kita yang memiliki perusahaan, sadarkah bahwa perusahaan memiliki makna yang erat dengan tubuh? Kata ’perusahaan’ – selain berasal dari kata company dan enterprise, juga berasal dari kata corporation. Kata tersebut berasal dari kata Latin corporatio (pengambilalihan suatu tubuh), di mana kata corporatio itu berasal lagi dari kata kerja Latin corporare (menjadi satu tubuh). Tubuh sendiri dalam bahasa Latin disebut corpus (bnd. kata Inggris corpse). Terkait dengan perusahaan, maka pemilik perusahaan perlu menyadari bahwa setiap unsur yang ada di dalamnya (mulai dari komisaris, direktur, manajer, karyawan, sampai dengan office boy) merupakan “anggota-anggota tubuh” yang perlu diperhatikan kesejahteraannya. Sebab kesejahteraan mereka, bukankah pada gilirannya mendatangkan kesejahteraan bagi perusahaan juga?
Jika hal-hal di atas dipraktikkan, maka semuanya itu akan menjadi bentuk konkret perubahan dalam hidup kita. Soli Deo Gloria.
@ Pdt. Natanael Setiadi.
[1] B. Hari Juliawan, “Tubuh Hedonis, Tubuh Teologis” dalam Rohani, no. 04, tahun ke-50, April 2003, p. 5.
[2] Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan (Yogyakarta: Ombak, 2008), p. 2.
[3] Jose Kuttianimattathil, “Towards a Theology of the Body I” dalam Vidyajyoti: Journal of Theological Reflection, vol. 65, 2001, p. 29.
[4] Bnd. Karl Olav Sandnes, Belly and Body in the Pauline Epistles (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), p. 5. Buku yang ditulis Sandnes ini hendak menjelaskan bahwa ketika Paulus menyinggung tentang ”pemujaan perut”, itu bukanlah bagian dari strategi retorik Paulus, tapi hendak menunjuk pada suatu kenyataan kulutral yang hendak ditanggapi Paulus secara teologis.