Warta Minggu Ini
SABAR, IBU

“Sebab itu, janganlah kita menjadi bosan melakukan hal-hal yang baik; sebab kalau kita tidak berhenti melakukan hal-hal itu sekali kelak kita akan menuai hasilnya.”

(Galatia 6 : 9 – BIS)

Beberapa hari ini saya merasa jengkel terhadap anak-anak saya. Sejak kecil diajari untuk mengucapkan terima kasih kepada siapapun bila diberi sesuatu, tetapi setelah remaja mereka tidak konsisten melakukannya. Di balik kejengkelan saya, ada rasa khawatir kalau-kalau mereka menjadi pribadi yang merasa berhak untuk menerima sesuatu sehingga tak perlu merasa bersyukur karenanya. Sebagai seorang ibu, saya merasa bahwa saya harus berjuang menghadapi berbagai medan tempur dalam membesarkan anak-anak saya. Medan tempur yang saya hadapi semakin hari semakin berat sejalan dengan pertambahan usia mereka.

Ketika kita melakukan perbuatan baik, pernahkah Anda berpikir bahwa perbuatan baik ada batas kadaluarsanya? Anda mungkin tidak setuju dengan pernyataan ini. Mungkin Anda berargumen bahwa sebagai pengikut Kristus perbuatan baik tiada berbatas waktu. Namun jika kita membedah ayat di atas, nyata bahwa perbuatan baik menjadi kadaluarsa ketika pelakunya menjadi bosan atau lelah. Bukankah itu yang kita alami? Jika perbuatan baik yang kita lakukan tidak membuahkan apapun atau malah menyusahkan kita, kita bisa berhenti melakukannya.

Melakukan perbuatan baik yang Paulus maksud di atas adalah selaras prinsipnya dengan iman yang meminta kita percaya tanpa melihat bukti; mengasihi tanpa harus minta dikasihi kembali, menerima tamparan di pipi yang kedua setelah ditampar yang pertama atau memberikan baju dan jubah sekaligus. Artinya hasil dari iman (baca: perbuatan baik) itu tidak boleh dituntut. Tugas sebagai pengikut Kristus adalah terus melakukan perbuatan baik sebagai kelanjutan dari keselamatan kita (Ef. 2: 10).

Apakah berbuat baik itu mudah? Jawabnya pasti: tidak. Saya mengamati bahwa ada banyak orangtua yang sampai kepada batas kadaluarsa melakukan yang baik untuk anak-anaknya. Anak-anak itu dibiarkan menjalani jalan hidupnya sendiri dengan nilai, pandangan hidup dan kepercayaannya sendiri. Begitu juga saat saya merasa jengkel, saya sedang menaruh harapan kepada anak-anak dan ternyata harapan saya tidak sesuai dengan kenyataan. Ini sama dengan saya menuntut hasil dari mereka. Saya harus mengubah cara pandang saya. Memang anak-anak itu saya lahirkan, namun mereka adalah kepunyaan Tuhan, sehingga saya tidak bisa setengah-setengah dalam menuntun mereka menjadi pribadi yang berkenan kepada Tuhan dan berkat bagi sesama. Saya bertanggungjawab langsung kepada Tuhan sebagai pemilik anak-anak.
Medan tempur saya bisa jadi berat sebagai ibu. Namun saya tahu bahwa saya sedang mengubah dunia dan menciptakan sejarah melalui anak-anak saya. Selama saya masih hidup, anak-anak ini dipercayakan kepada saya, dan saya menjawab pertanyaan saya sendiri: sabar, ibu, lakukan terus perbuatan baik itu.

(Novi Lasi)

SINDROM “ASAL BUKAN SAYA”
“Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3...