Warta Minggu Ini
MY DREAM

“Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.”

(1 Korintus 10 : 17)

Bibir ini serasa kelu dan air mata jatuh tak tertahankan ketika saya menyaksikan malam amal bertajuk ‘My Dream’, di mana semua anggota tim yang terlibat adalah para penyandang difabilitas (tuna runggu, tuna wicara, maupun tuna netra). Rasa kagum dan syukur saya meluap malam itu ketika mengingat kebesaran Tuhan melalui pertunjukan saat itu. Tuhan yang begitu besar dan dahsyat memberi setiap kita umat ciptaan-Nya kelebihan di tengah ketidaksempurnaan. Melalui ketidaksempurnaan, mereka menyuguhkan karya yang luar biasa melalui permainan alat musik, lagu dan tarian. Harmonisasi yang terwujud melalui gerak, suara dan mimik mereka memancarkan rasa damai bagi setiap hadirin yang menyaksikannya. Dengan kesungguhan hati, keuletan dan semangat pantang menyerah, mereka dapat menampilkan tarian yang merupakan kombinasi gerak, suara dan mimik yang profesional seperti tarian Bodhisattva dan lainnya. Seniman difabel kelas dunia ini telah menginspirasi jutaan penonton di 100 negara di dunia.

Dunia yang Tuhan ciptakan dengan segala keberagaman yang ada di dalamnya akan menghasilkan sebuah harmonisasi indah, ketika kita saling menghargai keberagaman itu sendiri dan mengasihi sesama kita, seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus mengatakan: “Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu”. Ayat ini menjadi pengingat bagi para pengikut Rasul Paulus akan pentingnya persekutuan. Karena di antara pengikutnya telah terjadi perpecahan, hubungan antaranggota tubuh Kristus tidak lagi harmonis. Mereka membentuk kubu atau golongan masing-masing dengan membuat sekat pemisah berdasarkan perbedaan.

Salah satu perbedaan yang kita buat dalam kehidupan kita menjadi sekat pemisah adalah persoalan ‘normal’ berdasarkan kesempurnaan tubuh fisik kita. Seringkali kita mengesampingkan kaum penyandang disabilitas dan merasa bahwa mereka patut dikasihani bukan dikasihi. Atau sebaliknya mereka kekurangan banyak cinta, sedangkan kita penuh dengan cinta karena kesempurnaan fisik kita. Padahal kadangkala mereka punya banyak cinta, dan ketulusan cinta kasih mereka membuat kita terharu saat mereka dengan tulus memberikannya kepada kita. Karena itu, pertanyaan reflektif kita adalah bersediakah kita untuk terus berbagi kasih dengan sesama kita melalui hidup kita, dengan segala kekurangan dan kelebihan kita? Belajar dari dream para penyandang difabilitas, kiranya kita berani menjawab panggilan-Nya dengan ‘Ya Tuhan. Ini aku, utus aku!’ Biarlah cinta yang menggerakkan kita semua untuk melakukannya.
Soli Deo Gloria.

(Kumalawati Abadi)

MENGUBAH HIDUP MENJADI BERHARGA
“Jawab-Nya kepada mereka: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?”” (Lukas...