
“Waktu aku takut, aku ini percaya kepada-Mu; kepada Allah, yang firman-Nya kupuji, kepada Allah aku percaya, aku tidak takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?”
(Mazmur 56 : 4 – 5)
Pada hari Minggu pagi, 13 Mei 2018, kita kembali dikejutkan dengan peristiwa ledakan bom di tiga gereja di Surabaya. Peristiwa terkait teror dan teroris kembali menghangat sejak keributan terjadi di Rumah Tahanan Mako Brimob beberapa hari sebelumnya. Saya baru saja pulang dari Kebaktian Umum pertama dan membuka aplikasi berita pada ponsel saya. Saya sempat terkejut dengan berita ledakan di sebuah Gereja Katolik, GKI Diponegoro dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Sejenak saya terdiam dan merasa keder, karena bila sedang bertugas di Surabaya, saya berbakti di GKI Diponegoro. Bayangan dan gambaran akan suasana kebaktian pagi di gereja itu terlintas jelas pada benak saya, diikuti juga suasana mencekam yang terjadi di gereja itu.
Sebetulnya beberapa kali pikiran tentang ancaman teror di gereja terlintas di kepala saya. Terus terang pikiran itu membuat saya sering memerhatikan kondisi sekitar setelah kebaktian selesai dan saat saya berjalan menuju tempat parkir kendaraan saya. Rekan-rekan sepelayanan tak jarang melihat saya sangat fokus berjalan mengamati sekitar gereja. Saya tahu hal ini saya lakukan sebagai bentuk antisipasi dari rasa takut saya. Bahkan pada suatu kesempatan, saya pernah bertanya secara pribadi pada Pdt. Linna Gunawan, apakah beliau tidak pernah merasa takut bila pada kebaktian Malam Natal harus bersalaman dengan Jemaat di dekat gerbang gereja. Beliau menyatakan kadang rasa takut, namun dia memilih untuk lebih memercayai Allah ketimbang rasa takut itu.
Berita bom Surabaya itu kemudian diikuti oleh tagar #KamiTidakTakut di media sosial. Saya bertanya dalam hati: apakah benar pernyataan “saya tidak takut” benar-benar saya hayati dalam hidup ini. Apakah rasa takut hal yang buruk? Bukankah pernyataan tersebut bisa menunjukan suatu penyangkalan terhadap kenyataan bahwa kita takut? Memang pada dasarnya kita sebagai manusia sangat mungkin dan wajar merasa takut atas suatu hal yang berada di luar kendalinya. Justru ketakutan kita menunjukkan sifat kemanusian kita yang fana dan perlu pertolongan Allah.
Mazmur 56 menjelaskan bagaimana Pemazmur merasa takut dan memberi solusi atas ketakutannya. Dia memilih percaya pada Allah dan Firman-Nya. Dalam kisah Perjanjian Baru, tidak jarang Yesus juga menyatakan “Jangan takut” dalam berbagai kesempatan. Sebagai orang Kristen kita diutus untuk menyatakan kesaksian atas iman kita bahwa kepercayaan kita kepada Allah tidak tergoyahkan. Allah adalah Sang Sumber Kehidupan yang senantiasa menjaga kita, sekalipun ketakutan menghampiri kita. Ketika kita menyadari Allah sebagai Sumber kehidupan, kita pun harus yakin Allah sedang memulihkan dan berbela rasa dengan korban dan keluarganya.
Marilah kita berdoa agar semua korban dan keluarga dihiburkan dan terus percaya bahwa mereka tidak sendiri. Kita dan mereka diajak menjadi bagian dari kesaksian Allah yang hidup melalui hidup kita sendiri.
(Yanuar Tedjawidjaja)