Kejadian ini sungguh di luar kendali saya dan membuat saya tertekan karena semuanya serba mendadak. Schedule mengajar training yang awalnya sudah direncanakan di Pulau Dewata, tiba-tiba satu hari sebelum pelaksanaan dipindahkan ke kota kelahiran saya, Semarang. Awalnya ada rasa kecewa, jengkel dan stress yang membuat saya tidak bisa tidur nyenyak. Terbayang persiapan yang sudah saya lakukan satu bulan yang lalu, harus saya kerjakan ulang, dari mulai mengkonfirmasi ketersediaan ruang training, kedatangan peserta sampai tiket serta akomodasi. Bahkan di menit-menit terakhir sebelum saya terbang ke Semarang, saya baru menerima konfirmasi bahwa hotel yang tersedia hanya di daerah Simpang Lima.
Walaupun jarak hotel dengan rumah mami agak jauh, saya tetap mengunjungi rumah mami dan berbaur dengan para pedagang di pasar, tempat saya melewatkan masa kecil saya. Tidak ada yang berubah dengan kondisi mereka, tetap menjadi pedagang maupun tukang becak yang saya kenal. Hanya sedikit yang berbeda, guratan di raut wajah mereka yang mulai menua. Lek Muh, demikian saya memanggilnya, pekerjaan beliau adalah tukang becak, langganan keluarga kami ketika mami atau kakak saya tidak bisa menjemput saya pulang sekolah. Lek Muh inilah tukang becak yang selalu setia menunggu saya di depan sekolah. Ketika berjumpa, Lek Muh menitikan airmata saat menerima sedikit berkat Tuhan sebagai tanda ucapan terima kasih saya. Dengan wajah polosnya, Lek Muh mengatakan : “Non, terima kasih ya masih mengingat Lek Muh. Dulu Nonik kecil, Lek Muh yang jemput sekolah, sekarang Nonik sudah jadi “orang”, Lek Muh masih tetap jadi tukang becak,” katanya sembari matanya berkaca-kaca. Saya berusaha tegar meskipun di dalam hati saya ingin menangis. Ingatan masa kecil kembali membuat saya teringat mami yang selalu mengajarkan saya untuk berbagi dan memperhatikan orang lain. Pengalaman tak terlupakan ini membuat saya bersyukur bahwa saya dipertemukan dengan orang-orang yang mengasihi saya dengan tulus dan tidak pernah memperhitungkan untung-rugi dalam mengasihi saya. Kasih para pedagang maupun tukang becak itu tidak membedakan warna kulit maupun etnis. Mereka tetap saja memperlakukan dan menganggap saya seperti nonik kecil yang dulu mereka kenal.
Kisah ini mengingatkan saya bahwa Tuhan telah memperlengkapi kita untuk melakukan setiap perbuatan baik (2 Tim 3:17). Hendaknya hidup yang singkat ini bisa kita gunakan sebaik mungkin untuk selalu mengulurkan tangan kita kepada orang yang membutuhkan dan bukannya menengadahkan tangan kita memohon belas kasihan orang. Hendaknya masing-masing kita belajar memberi dengan kerelaan hati dan sukacita. Kebaikan itu tentu saja bisa muncul dalam diri banyak orang. Kebaikan yang berasal dari Allah. “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati, ” kata penulis Lukas(Lukas 6:36). Kita diberkati untuk memberkati, kita diberi untuk memberi. Hati yang bersukacita dalam memberi tidak akan memandang kekurangan atau keterbatasan diri sendiri, tetapi mampu melihat dengan penuh rasa syukur bagaimana Tuhan selama ini telah memberkati kita. Selamat menjadi Berkat! Soli deo Gloria.
(Kumalawati Abadi)