Warta Minggu Ini
AYAH ARUN GANDHI

“Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.”

(1 Korintus 1 : 18)

Ketika kira-kira berusia 16 tahun, Dr. Arun Gandhi, cucu dari mendiang Mahatma Gandhi, hidup bersama kedua orangtuanya di sebuah lembaga yang didirikan oleh Mahatma Gandhi. Mereka tinggal di sebuah perkebunan tebu, sekitar 18 mil dari kota Durban, Afrika Selatan yang berada di pelosok desa terpencil. Pergi ke kota adalah suatu kesempatan indah bagi Arun dan kedua saudara perempuannya. Pada suatu hari kebetulan ayahnya meminta Arun menemaninya ke kota untuk menghadiri suatu konferensi selama seharian penuh. Bukan main girangnya Arun saat itu.

Pagi itu setelah mereka tiba di tempat konferensi; ayahnya meminta Arun untuk menjemput beliau di bengkel jam 5 sore. Sambil menunggu mobil diperbaiki, Arun berpikir untuk mengisi waktu senggangnya dengan pergi ke bioskop, menonton sebuah film. Karena sangat asyiknya menonton, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 17:30. Saat Arun tiba kembali di bengkel, waktu sudah hampir pukul 18:00. Dengan gelisah ayah bertanya, “Arun, kenapa kamu terlambat menjemput ayah?”. Saat itu Arun merasa bersalah dan sangat malu untuk mengakui bahwa tadi keasyikan menonton film, sehingga dia terpaksa berbohong dengan mengatakan, “Maaf Ayah, tadi mobilnya belum selesai diperbaiki sehingga Arun harus menunggu.” Ternyata tanpa sepengetahuannya, ayah sudah terlebih dulu menelpon bengkel mobil tersebut, sehingga ayahnya tahu jika dia berbohong.

Wajah ayahnya tertunduk sedih. Sambil menatap, ayahnya berkata, “Arun, sepertinya ada sesuatu yang salah dengan ayah dalam mendidik dan membesarkan kamu, sehingga kamu tidak punya keberanian untuk berbicara jujur kepada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarlah ayah pulang dengan berjalan kaki, sambil merenungkan di mana letak kesalahannya.” Dengan tetap masih berpakaian lengkap, ayahnya mulai berjalan kaki menuju jalan pulang ke rumah. Arun tidak sampai hati meninggalkan ayahnya sendirian seperti itu. Meskipun telah ditawari naik, beliau tetap berkeras untuk terus berjalan kaki. Tak terasa air mata Arun menitik melihat penderitaan ayahnya hanya karena kebohongan yang dilakukannya.

Cerita tersebut sama halnya dengan kehidupan kita terhadap Allah. Kita sering kali melakukan kesalahan-kesalahan padahal kita telah berjanji kepada-Nya untuk selalu menepati firman-Nya. Kita sepatutnya mendapat hukuman dari Allah, tetapi Dia memang Allah yang penuh kasih, sabar dan baik hati. Dia mau menanggung dosa dan kesalahan kita. Dia bersedia mati di kayu salib.

Paulus mengatakan kepada jemaat Korintus tentang kuasa salib Kristus yang menebus dosa manusia. Bagi orang yang tak percaya, berita tentang salib adalah kebodohan; tidak ada seorang pun yang rela memberi diri untuk menebus kesalahan orang lain. Namun, bagi yang percaya, salib adalah lambang kemenangan. Karena itu, salib adalah lambang kekuatan Allah.

Pada masa Pra Paska ini kita diundang untuk mengingat kembali atas kabar baik melalui salib Kristus. Kiranya kita tetap mengarahkan cinta kita kepada-Nya yang telah memberi diri-Nya bagi kita.

(Ryadi Pramana)

THIS WORLD IS NOT MY HOME
Katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi,...