
“Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.”
(Yohanes 3 : 30)
Beberapa waktu terakhir ini saya terlibat aktif membantu teman saya dalam beberapa event panggung boneka. Berbeda dengan panggung boneka yang hanya tampil di masa Paska atau Natal, teman saya ini benar-benar menjadikan panggung boneka sebagai kegiatan yang profesional. Dari kualitas boneka, koreografi, sampai hal-hal kecil seperti perlengkapan pendukung benar-benar dipikirkan secara matang. Latihan yang kami lakukan juga dilaksanakan layaknya performer yang akan tampil di televisi. Satu segmen bisa dilatih beberapa kali.
Dari awalnya hanya sekadar bantu-bantu, saya pun tertarik untuk ikut latihan memainkan boneka. Salah satu konsep penting dari seni puppetry (permainan boneka) ini adalah boneka yang dimainkan harus benar-benar terlihat hidup. Konsep ini bukan hanya dikatakan oleh teman saya yang memang sudah berpengalaman, tetapi juga oleh para pemain boneka yang tergabung dalam Sesame Street, seperti almarhum Jim Henson, si pencipta Kermit.
Untuk “menghidupkan” boneka, keberadaan si pemain sebisa mungkin diminimalisir. Bila kita memainkan boneka sambil berdiri, posisi boneka harus ada di depan pemain. Untuk lebih idealnya lagi, pemain sebaiknya memainkan boneka di balik tirai, dengan posisi berlutut. Ini tentunya bukan hal yang mudah, karena pada dasarnya manusia tidak terlalu sering berada dalam posisi berlutut. Dalam puppetry, saat berlutut, suara karakter akan lebih mudah dibentuk; begitu juga gerakan boneka akan menjadi lebih luwes. Boneka pun tampak lebih jelas terlihat karena anak-anak tidak perlu membagi perhatian antara boneka dan si pemain.
Secara pribadi, dari konsep berlutut ini, saya turut belajar mengenai bagaimana seharusnya yang ditampilkan adalah karya pelayanan, bukan orang yang berkarya di dalamnya. Hal ini bisa dibilang gampang-gampang susah, apalagi di masa sekarang yang dihiasi dengan trend selfie, upload foto diri ke media sosial, yang dahsyatnya lagi telah dilengkapi berbagai filter untuk mempercantik gambar diri. Semakin bisa menonjolkan diri, mendapat perhatian, menjadi populer kelihatannya semakin menyenangkan.
Bila budaya seperti itu diterapkan dalam puppetry, bisa dipastikan seni ini akan berantakan. Boneka hanya menjadi objek pelengkap saja; sama seperti bila kita menjadikan pelayanan hanya sebagai pencitraan untuk mengangkat keberadaan kita sendiri. Sebaliknya, bila setiap pelayan, aktivis maupun jemaat memilih untuk “berlutut” dan tidak menonjolkan keakuan, sambil bersama-sama mengangkat karya pelayanan, pastilah karya pelayanan juga akan lebih terasa dampaknya. Yohanes Pembaptis menjadi role model kita untuk ‘berlutut’. Dia tidak menjadikan dirinya sendiri fokus dari karya keselamatan. Dia membiarkan Yesus menjadi lebih utama dan besar sebagai Juru selamat manusia.
Tentunya konsep yang terkesan idealis ini tidak mudah untuk langsung diterapkan. Tetapi bukan tidak mungkin bisa dilakukan, karena kita sudah melihat buktinya. Deretan orang-orang yang berlutut di balik layar mampu menciptakan pelayanan panggung boneka yang indah dan menjadi berkat bagi banyak orang. Mereka mampu bergerak bersama-sama dalam kesehatian untuk memuliakan nama Tuhan melalui seni panggung boneka. Memperkecil keberadaan diri untuk memperbesar karya pelayanan. Kiranya ini pulalah yang kita pelajari dalam mempersembahkan pelayanan kita untuk kemuliaan nama Tuhan.
(Fuye Ongko)