Warta Minggu Ini
GEREJA YANG BERBUAH MANIS (BAGIAN I)

“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap… Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.”
(Yohanes 15 : 16a, 17)

Terus terang saya tidak terlalu suka buah yang manis. Mungkin karena saya penggemar yang asam-asam, maka saya memilih buah jeruk atau mangga yang bercampur antara manis dan asam; atau saya lebih memilih nanas daripada pepaya. Saya kadangkala memakai kesukaan saya dengan buah yang asam sebagai ilustrasi tentang hidup yang lebih berwarna kalau ada asam-asamnya, daripada sekadar manis. Namun, gereja kita saat ulang tahun ke-37 tahun mengambil tema: “Gereja yang Berbuah Manis”. Tentu saja tema ini tidak ada hubungannya dengan kegemaran saya dengan buah yang ada asam-asamnya daripada buah yang manis sama sekali. Saya paham ilustrasi “buah yang manis” selalu menggambarkan buah yang baik, yang enak, dan mungkin paling dicari oleh banyak orang. Tema ini pula (barangkali) menjadi doa, harapan dan mimpi kita bersama, gereja kita menghasilkan sesuatu yang baik, berharga dan dirindukan banyak orang.

Kalau GKI Kayu Putih berharap menjadi gereja yang berbuah manis, pasti kita tidak bisa melepaskan diri dari perjalanan gereja selama 37 tahun. Kita pasti tidak pernah akan melupakan pahit, getir, kegelisahan, kekecewaan, dan banyak lagi rasa yang tak mengenakkan di samping kegembiraan dan rasa manis lainnya. Kita pun sadar perjalanan gereja kita melewati pula masa-masa gagal, jatuh, terluka, takut, di samping keberhasilannya. Ini biasa dalam perjalanan refleksi hidup, kita belajar menerima kenyataan bahwa hidup tidak selalu berisi yang manis-manis, tetapi juga yang asam-asam. Karena itu perjalanan hidup senantiasa disebut beragam rasa. Begitu pula dengan gereja kita, perjalanannya dipenuhi dengan rasa ‘nano-nano’.

Diana Butler Bass menggambarkan gereja yang berhospitalitas harus selalu mengingat bahwa perjalanan kehidupannya harus mengalami proses healing, sebab hospitalitas erat berhubungan dengan memulihkan dan menyembuhkan. Selama ini kita mengenal hospitalitas adalah menerima orang lain/asing. Bass mengatakan healing lekat dengan hospitalitas sebab orang lain sebagai ‘guest’, termasuk kita sebagai ‘host’ di gereja adalah orang-orang yang rapuh. Orang-orang yang hadir dan menjadi aktivis pun adalah orang-orang yang terluka dan tidak sempurna. Karena itu, kadang dalam perjalanan gereja ada gesekan-gesekan, ada proses (tak sengaja atau sengaja) saling melukai. Namun, keindahan gereja yang berbuah adalah proses healing itu terjadi dalam hidupnya. Dia berproses dalam kerapuhan dan pemulihan sekaligus; dia bertumbuh dalam proses terluka dan sembuh; dia mengalami jatuh sekaligus bangkit lagi. Begitu pula dengan perjalanan gereja kita, semua proses healing itu kita lalui. Kita telah mengalaminya. Saya membayangkan proses healing yang telah kita alami ini merupakan proses di mana Tuhan memilih kita menjadi gereja-Nya. Dia yang telah memilih kita, Dia pula yang mendampingi kita dan menyembuhkan kita.

Selanjutnya, ketika kita ingin menjadi gereja yang berbuah manis, maka pengalaman healing itu tidak boleh berhenti. Selama GKI Kayu Putih berdiri, proses menyembuhkan harus terus terjadi: saling memaafkan, mengampuni; saling menerima dan memaklumi; saling memberi perhatian dan menghargai; saling memberi hormat dan percaya. Karena itu, perintah Tuhan Yesus sangat jelas, “supaya kamu pergi dan menghasilkan buah, dan buahmu itu tetap”. Rupanya Dia tidak menuntut kita untuk berbuah banyak, cukup berbuah tetap: konsisten dan setia saling menyembuhkan (baca: mengasihi).

(bersambung minggu depan)

(Pdt. Linna Gunawan)

MACBETH
“Mengapa engkau menghina TUHAN dengan melakukan apa yang jahat di mata-Nya? Uria orang Het itu, kaubiarkan ditewaskan dengan pedang;...