
“Kata Yesus kepadanya: Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham.”
(Lukas 19 : 9)
Apa yang terasa ketika luka baru terkena garam? Rasa pedih yang nggak ketulungan itu yang mungkin menjadi penyebab adanya peribahasa “seperti menabur garam di atas luka.” Peribahasa ini hendak mengatakan bahwa jangan menambah susah orang yang sedang susah. Ada suatu peristiwa yang membuat saya teringat pada peribahasa ini. Beberapa minggu yang lalu dalam sebuah tayangan talk show televisi nasional, seorang bintang tamu menyatakan permintaan maaf atas kata-katanya yang dianggap menyakiti. Dari raut wajahnya, saya menangkap rasa penyesalan yang tulus. Bintang tamu lain yang hadir kemudian menasihatinya panjang lebar.
Kita seringkali juga bertindak seperti bintang tamu lain dalam menghadapi orang yang meminta maaf karena melakukan suatu kesalahan. Kita cenderung tidak langsung bisa menerima permintaan maafnya dan pasti menambahi dengan nasihat, supaya ia kapok untuk mengulang kesalahannya. Sayangnya, ini seperti menabur garam di atas luka; suatu tindakan yang sama sekali tidak perlu, karena si pelaku sudah minta maaf, artinya ia sadar akan kesalahannya dan sadar untuk memperbaiki. Menasihati orang yang sudah meminta maaf juga terkadang mengartikan bahwa ‘saya lebih baik dari kamu sebab saya bisa menasihatimu.’ Saya pernah jatuh dalam situasi ini ketika seorang saudara yang saya nasihati berbalik menegur saya – katanya ‘jangan sok suci, kayak kamu tidak pernah salah saja.’ Rasanya seperti ditonjok di ulu hati.
Yesus menampilkan perilaku dan sikap yang sama sekali berbeda dalam menghadapi orang yang mengakui kesalahan dan meminta maaf. Zakheus tidak pernah secara literer menyatakan minta maaf, tetapi ketika ia menyatakan akan mengembalikan lebih besar dari yang dituduhkan telah diambil dari orang lain, ia mengakui dosa dan kesalahannya dengan tulus. Kita tak pernah membaca Yesus menanggapi dengan ceramah atau teguran. Ia langsung merangkul Zakheus dan menerima pertobatannya. Tidak ada tuntutan yang Yesus ajukan kepada Zakheus sebagai pendukung keaslian pertobatannya. Alangkah lega seluruh keberadaan Zakheus dan keluarganya karena penerimaan Yesus. Catatan sejarah menyatakan bahwa Zakheus kemudian menjadi uskup di Kaisarea.
Penerimaan atas mereka yang mengakui kesalahan sebenarnya memulihkan luka orang tersebut dan ia direhabilitasi secara utuh. Rasanya pernyataan saudara saya itu kepada saya adalah tepat, bahwa tidak ada seorangpun yang suci sehingga sungguh tak patut saya bermegah atas luka orang lain. Sebagai sesama orang yang berutang kepada Allah, kita sudah sepantasnya menerima siapapun, termasuk mereka yang sudah bersalah kepada kita. Alangkah indahnya apabila kita pun bisa menjadi orang yang memulihkan setelah kita dipulihkan Allah. Seperti kata Pendeta Andar Ismail, “Selamat berpulih!”
(Novi Lasi)