Warta Minggu Ini
BEMPER

“Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya.”
(Yesaya 11 : 6)

Claire Contreras dalam bukunya Paper Hearts menceritakan Mia Bennet, tokoh dalam buku tersebut duduk merenungkan kehidupan. Mia memperhatikan orang-orang yang bergegas di kota New York memiliki hal yang sama, baik para gelandangan maupun para eksekutif: semuanya berjuang di hidup yang keras. Semuanya lelah. Saya setuju dengan tulisan tersebut sebab saya pun mengalaminya dan mengakui bahwa hidup ini keras. Tetapi pertanyaan saya adalah mengapa hal ini bisa terjadi?

Ayat di atas menampilkan hidup yang lembut dan penuh kasih sayang. Singa yang buas dapat makan bersama anak lembu yang seharusnya menjadi mangsanya dan anak kecil yang tak berdaya menjadi gembala. Yesaya menulis perikop ini untuk menjelaskan bagaimana dampak kedatangan Raja Damai. Kehadiran Sang Raja Damai membuat hidup itu damai dan rukun.

Kita perlu mengakui bahwa kegagalan kita dalam hidup damai dan rukun dengan sesama ditentukan oleh respon kita terhadap masalah. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita seringkali kepepet, akibatnya jauh lebih mudah memepet balik orang lain. Tuntutan yang saya hadapi di kantor sering sekali membuat saya pulang jauh malam dan tidur dini hari sehingga saya merasa tertekan. Kondisi mental dan fisik yang tidak fit sering membuat saya juga menjadi keras kepada orang lain. Padahal orang lain di sekitar saya juga mengalami kesusahan yang bisa jadi mirip. Ini artinya saya menambah kesusahan yang tidak perlu. Saya menyadari bahwa saya menjadi bagian dari hidup yang keras, saya tidak memperlunak ataupun mencoba membuat hidup orang lain lebih nyaman. Seakan-akan ‘kalau saya susah, kamu juga harus susah’ atau ‘kenapa saya harus membuat kamu nyaman sementara saya sendiri tidak nyaman.’ Semakin saya pikir, semakin jelas bahwa pernyataan di atas menampilkan prinsip ‘mata ganti mata’ yang saya praktekkan dalam hidup.

Kita semestinya sebagai orang yang sudah ditebus Kristus lebih sadar untuk bertindak berbeda. Kesusahan yang kita rasa tidak perlu disebarkan kepada orang lain. Kita seharusnya mampu bersikap sebagai ‘bemper’ bagi orang lain. Sebagai ‘bemper’ kita menyerap kesusahan yang dunia tumpahkan dan melontarkan kasih kepada orang lain. Kita lebih sering menjadi trampolin, melontar balik kesulitan kita pada orang lain.

Saya menyadari bahwa kalau saya ingin memiliki hidup yang tidak keras, maka saya bertanggungjawab untuk menciptakan kondisi tersebut, paling tidak di lingkungan dimana saya ada. Saya bertanggungjawab untuk menyerap ‘benturan’ dan bukan menambah kesusahan bagi orang lain.

Bayangkan jika kita semua sama-sama sadar dan mau melakukan ini, bukankah dunia yang damai jadi kondisi yang dapat kita capai? Mari sama-sama belajar menjadi ‘bemper’ kehidupan yang memilih hidup damai dan melontarkan kasih kepada sesama.

(Novi Lasi)

FIND US FAITHFUL
“Aku bersyukur kepada Dia yang menguatkan aku, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku setia dan mempercayakan...